BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makalah ini menyusun berbagai masalah atau pengertian yang berada
di mata kuliah perkembangan peserta didik yang membahas suatu topik yang patut
kita diskusikan ataupun kita presentasikan di mata kuliah ini. Makalah ini membahas
tentang topik sosioemosional yang menyorot lebih detil kami membahas emosional
anak-anak, sebab kita sebagai calon orang tua kita harus mengerti emosional
anak itu agar kelak nanti kalau sudah waktunya kita menjadi orang tua tidak
akan kaget ataupun canggung terhadap tingkah laku anak kita semisal anak kita
sedang menangis menangisnya karena apa, dan bagaimna cara kita untuk mendiamkan
anak kita agar tidak menangis lagi, sebab tangisan anak itu bermacam-macam dan
berbagai suara yang berbeda-beda.
Seperti itulah landasan makalah ini mengapa kami mengambil
sosioemosional anak-anak. Agar kita faham dan mengerti apa yang ada dalam diri
anak, sebab tanpa adanya itu maka kita tidak akan tau tentang apa yang dialami
oleh anak tersebut. Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa kita jadikan suatu
pelajaran,motivasi atau pengalaman tentang emosional anak-anak
B.
Rumusan Masalah
Makalah ini
menyusun berbagai rumusan masalah yang akan di bahas, antara lain:
1.
Apakah
pengertian dari perkembangan sosio-emosional?
2.
Bagaimanakah
tahap-tahap perkembangan sosio-emosional?
3.
Bagaimanakah
teori psikososial menurut Erikson?
4.
Apakah
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional?
5.
Apakah
masalah yang biasa terjadi dalam perkembangan sosio-emosional serta
bagaimanakah solusinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dari sosio-emosional.
Sosio
berasal dari bahasa Latin yaitu Socius[1]
yang berarti kawan. Emosional berasal dari
kata emosi menurut English and
English, Emosi adalah “ A complex feeling state accompanied by characteristic
motor and glandural activies ” ( Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang
disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).[2]
Di dalam emosi bayi terdapat
beberapa macam emosi yaitu: Emosi positif dan
emosi negatif[3].
a) Contoh emosi positif pada bayi: rasa senang, antusiasme, cinta.
b) Contoh emosi negatif pada bayi: rasa cemas, marah, rasa bersalah, rasa
sedih.
B.
Tahap-Tahap Perkembangan Sosio-Emosional
Pada tahap perkembangan
emosi awal, pembagian emosi diklasifikasikan menjadi 2:
· Emosi Primer, muncul pada manusia dan juga binatang.
Yang termasuk dalam emosi primer ini adalah terkejut, tertarik,
senang, marah, sedih, takut, dan jijik. Semua emosi ini muncul pada usia enam
bulan pertama.
·
Emosi
yang disadari (self-concious emotions), yang memerlukan kognisi,
terutama kesadaran diri.
Yang termasuk dalam jenis ini adalah empati, cemburu, dan
kebingungan yang muncul pada 1½ tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran
diri), selain itu ada juga bangga, malu, dan rasa bersalah yang mulai muncul
pada 2½ tahun pertama.
Berikut adalah
bagan awal kemunculan dari berbagai emosi:
Emosi Primer
|
|
3 bulan
|
Senang
Sedih
Jijik
|
2-6 bulan
|
Marah
|
6 bulan pertama
|
Terkejut
|
6-8 bulan
|
Takut-
mencapai puncaknya pada usia 18 bulan
|
Emosi yang Disadari
|
|
1½-2 tahun
|
Empati
Cemburu
Kebingungan
|
2½ tahun
|
Kebanggaan
Malu
Rasa
bersalah
|
1.
Masa Bayi
Bentuk komunikasi
emosional awal dari bayi:
a.
Tangisan
Menangis adalah
mekanisme penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir untuk berkomunikasi
dengan dunia luar. Tangisan pertama dari bayi menunjukkan bahwa paru-parunya
sudah terisi udara. Tangisan juga memberi informasi mengenai sistem saraf pusat
bayi. Ada tiga jenis tangisan bayi:
1)
Tangisan
biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari tangisan, diikuti oleh periode
diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat lalu tangisan bernada lebih
tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak sebelum diikuti dengan set
berikutnya.
Beberapa ahli masalah bayi percaya bahwa rasa lapar adalah salah
satu kondisi yang menyebabkan tangisan ini.
2)
Tangisan
marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih banyak udara yang dipaksa
melewati pita suara.
3)
Tangisan
kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang, diikuti dengan menahan
nafas; tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini.
Biasanya disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.
b.
Senyuman
Tersenyum juga merupakan
cara penting dari seorang bayi untuk mengomunikasikan emosi. Ada dua macam
senyuman pada bayi:
1)
Senyuman
refleksif: senyuman yang tidak disebabkan oleh stimulus eksternal dan biasanya
muncul pada masa 1 bulan awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
2)
Senyuman
sosial: senyuman yang muncul karena stimulus eksternal, biasanya adalah wajah
yang dilihat oleh bayi yang masih muda.
Senyuman sosial belum muncul sampai usia 2-3 bulan, meskipun
beberapa peneliti percaya bahwa bayi akan meringis sebagai respons terhadap
suara yang didengar bahkan pada usia 3 minggu.
c.
Ketakutan
Ketakutan pada bayi ini
biasanya mulai muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18
bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan
kecemasan terhadap orang asing (stranger anxiety), di mana seorang bayi
menunjukkan ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya
muncul secara bertahap. Pertama kali timbul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk
reaksi gelisah. Pada usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering
kali menjadi lebih intens dan terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi
tersebut.
Tidak semua bayi
menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Selain perbedaan
individual, konteks sosial dan karakteristik orang asing tersebut juga
berpengaruh pada ketakutan bayi.
Ketika bayi merasa aman,
mereka akan lebih tahan terhadap kecemasan terhadap orang asing. Bayi akan
lebih berani berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan
yang familiar. Selain itu, bayi akan lebih tidak menunjukkan kecemasan ketika
mereka berada di pangkuan ibu mereka jika dibandingkan jika mereka duduk dalam
jarak beberapa meter dari sang ibu.
Siapa dan bagaimana
perilaku orang asing tersebut juga mempengaruhi kecemasan pada bayi. Bayi akan
lebih cemas terhadap orang asing yang sudah dewasa jika dibandingkan orang
asing yang masih anak-anak. Mereka juga akan berani berhadapan dengan orang
asing yang menunjukkan sikap bersahabat, ramah, dan menunjukkan senyuman jika
dibandingkan dengan orang asing yang pasif dan tidak tersenyum.
Selain kecemasan terhadap orang asing, bayi
juga mengalami ketakutan akan berpisah dengan pengasuhnya. Hal ini akan
menyebabkan separation protest-menangis ketika ditinggalkan oleh
pengasuhnya. Permulaan Separation protest yang dilakukan oleh bayi
berbeda-beda tergantung pada kebudayaan mereka serta sikap sensitif orang tua
mereka terhadap sinyal yang mereka berikan. Penelitian terkini menunjukkan
bahwa ibu dari bayi yang memiliki seperation protest yang tinggi adalah
orang tua yang terlalu sensitif terhadap sinyal negatif dari bayi tetapi kurang
sensitif terhadap sinyal positif dari bayi tersebut. Namun puncak separation
protest yang dilakukan bayi adalah hampir sama di berbagai kebudayan, yaitu
berkisar pada usia 13- 15 bulan.[4]
Selain beberapa emosi yang telah
dipaparkan di atas, ada beberapa bentuk komunikasi lain yang dilakukan oleh
bayi untuk mengekspresikan emosinya, antara lain:
a.
Marah;
meliputi: menjerit, meronta-ronta, menendang, mengibaskan tangan, memukul,
berguling-guling, meronta, serta menahan napas. Penyebabnya karena keinginannya
dihalangi.
b.
Rasa
ingin tahu; dengan cara memegang benda-benda yang ingin diketahuinya.
c.
Gembira;
meliputi: tersenyum, tertawa, menggerak-gerakkan tangan dan kaki, serta
berteriak-teriak dengan mata berbinar-binar. Penyebabnya karena ia diajak
bercanda, digelitik, diajak main, serta mendapat benda atau permainan yang
disenanginya.
d.
Menyenangi
sesuatu; meliputi memeluk, mendekap, menepuk-nepuk, serta mencium segala
sesuatu yang disenanginya.
Ada pula beberapa reaksi yang
dilakukan oleh bayi bila berhadapan dengan orang di sekitarnya, antara lain:
a.
Reaksi
Sosial Bayi kepada Bayi Lain
Terdapat beberapa sikap yang dilakukan oleh bayi untuk mencoba
menarik perhatian bayi lain, di antaranya adalah:
-
Bayi
berumur 4-7 bulan melambungkan badan ke atas dan ke bawah, menendang, tertawa,
bermain-main dengan ludah, tersenyum dengan bayi lain.
-
Bayi
berumur sekitar 9-13 bulan berusaha meremas baju dan rambut bayi lain,
bermain-main bersama, walaupun kadang berebut mainan.
-
Bayi
berumur sekitar 13-24 bulan berebut mainannya sudah berkurang, mereka sudah
lebih senang bekerja sama dalam bermain, sudah mau berbagi rasa dan melakukan
hubungan sosial.
b.
Reaksi
Sosial Bayi kepada Orang Dewasa
-
Bayi
berumur 2-3 bulan tampak tidak senang, terkadang menangis bila ditinggal
sendirian. Sebaliknya, ia akan senang, tersenyum bila didekati oleh seseorang,
siapapun orangnya.
-
Bayi
berumur sekitar 4-5 bulan ingin ditimang oleh siapa saja yang mendekatinya.
Selama itu, bayi mempelajari dan memperhatikan orang yang mendekat dan
menghafalkan ciri-cirinya. Hanya
seseorang yang memiliki ciri yang menyenangkan yang berhasil mendekati sang
bayi karena bayi akan takut bila didekati oleh seseorang yang memiliki ciri tidak
menyenangkan.
-
Bayi
berumur sekitar 6-7 bulan hanya tertarik pada orang tertentu.[5]
Bayi tidak hanya mengekspresikan
emosi, namun juga membaca tanda emosi dari orang lain. Referensi sosial adalah
cara membaca petunjuk emosional dari orang lain sebagai referensi bagaimana
berperilaku dalam situasi tertentu. Perkembangan dalam aspek referensi sosial
ini membantu bayi menginterpretasikan situasi ambigu secara lebih akurat-
misalnya ketika mereka berhadapan dengan orang asing- apakah mereka harus
merasa takut atau tidak terhadap orang tersebut.
Kemampuan melakukan referensi sosial
ini akan berkembang dengan lebih baik pada tahun kedua. Di usia ini, mereka
cenderung untuk “mengonfirmasi” ibu mereka sebelum mereka melakukan sesuatu;
mereka melihat apakah ibu mereka terlihat senang, marah, atau takut.
Selain itu, dalam kurun waktu satu tahun pertama, bayi mulai
mengembangkan kemampuan untuk menahan atau mengurangi intensitas dan durasi
reaksi emosional. Dari masa awal kehidupannya, bayi sudah bisa meletakkan jempol
dalam mulut untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi tetap
bergantung kepada pengasuhnya untuk menenangkan reaksi emosi yang dirasakannya,
terutama di masa awal kehidupan, seperti dengan mengayun-ayunkan bayi ketika
menidurkan, menyanyikan lagu nina bobo, membelai-belai, dan lain sebagainya.
Para ahli perkembangan percaya bahwa akan sangat baik untuk menenangkan bayi
sebelum keadaan emosinya menjadi terlalu intens, terguncang, dan tidak
terkontrol.
Pada periode berikutnya, ketika
seorang bayi merasakan rangsangan emosi tertentu, mereka kadang-kadang
mengalihkan atau memecah atensi mereka untuk mengurangi rangsangan tersebut.
Pada usia 2 tahun, seorang balita sudah mampu menggunakan bahasa untuk
menjelaskan keadaan emosi dan konteks situasi yang mengganggu mereka. Seorang balita
mungkin akan berkata “Takut. Anjing galak”. Jenis komunikasi seperti ini akan
membantu pengasuh dalam membantu anak mengatur emosi mereka.
Konteks juga dapat
mempengaruhi pengaturan emosi. Bayi akan sangat mudah terpengaruh oleh
kelelahan, rasa lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar, dan juga
lingkungan di mana mereka sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi
terhadap berbagai macam konteks yang memerlukan pengaturan emosi. Seiring
dengan bertambahnya usia, bayi akan menghadapi tuntutan-tuntutan baru dan juga
menghadapi perubahan ekspektasi dari orang tua. Sebagai contoh, jika seorang
bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran, orang tuanya akan
menganggap hal ini wajar, tapi tidak jika anak yang menjerit itu sudah berusia
1½ tahun misalnya.
2.
Masa Kanak-Kanak Awal
Pada masa ini, emosi yang dilakukan
adalah termasuk dalam emosi yang disadari. Ekspresi dari emosi-emosi ini
menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma
sosial untuk menilai perilaku mereka.
Rasa bangga
muncul ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku
tertentu. Rasa bangga sering kali diasosiakan dengan pencapaian suatu tujuan
tertentu.
Rasa malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar
atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa
bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Rasa malu biasanya
berhubungan dengan serangan terhadap self dan dapat mengakibatkan
kebingungan dan membuat anak tidak mampu berkata-kata. Tubuh anak yang
mengalami rasa malu ini biasanya akan terlihat seperti “merengut” seolah-olah
ingin menghindar dari tatapan orang lain. Rasa malu bukan merupakan hasi dari
situasi tertentu tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu terhadap
kejadian tertentu.
Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan akan lebih
menunjukkan perasaan malu dan bersalah jika dibandingkan dengan laki-laki.
Perbedaan di antara gender ini sangat menarik karena biasanya anak perempuan
adalah pihak yang lebih rentan terhadap internalisasi seperti kecemasan dan
depresi, di mana salah satu ciri khasnya adalah perasaan malu dan kritik
terhadap diri yang berlebihan.
Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah
kegagalan. Perasaan malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang
berbeda. Ketika seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah
mengecilkan tubuh mereka seperti ingin bersembunyi, sedangkan ketika mereka
mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya melakukan gerakan-gerakan tertentu
seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka.[6]
Rasa marah muncul ketika
anak sedang bermain dengan teman sebayanya, lalu terjadi perebutan mainan oleh
salah satu pihak, mungkin juga karena keinginannya tidak tercapai, ataupun
karena ada serangan dari anak lain. Ekspresi yang biasa muncul adalah menangis,
berteriak, menggertak, menendang, melompat, dan memukul.
Rasa takut dirasakan ketika ia mendengar cerita yang menyeramkan, melihat
gambar, melihat TV, mendengarkan radio, maupun melihat orang yang sedang
marah-marah. Ia biasanya langsung panik, lari, menghindar, bersembunyi,
maupun menangis.
Rasa cemburu biasa diungkapkan dengan pura-pura sakit, nakal, maupun regresi
(melakukan hal-hal yang dulu pernah dilakukan dan menarik perhatian, misalnya
ngompol lagi setelah lama tidak ngompol). Penyebab umumnya adalah karena
perhatian orang tua beralih kepada orang lain, misalnya adiknya yang baru
lahir.
Anak biasa
mengekspresikan Rasa ingin tahunya dengan banyak bertanya. Ia
ingin mengetahui hal-hal yang baru, juga ingin mengetahui tubuhnya sendiri.
Iri hati juga bisa mereka rasakan. Jika emosi ini sedang muncul, maka ia
akan mengeluh tentang hal-hal yang dimiliki, mengungkapkan keinginan untuk
memiliki barang orang lain, ataupun bahkan mengambil benda yang ingin
dimilikinya. Ia sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki
orang lain.
Gembira dapat mereka rasakan tatkala ia sedang sehat, mendengar bunyi yang
tiba-tiba, ataupun berhasil melakukan tugas yang dianggapnya sulit. Ungkapannya
adalah dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, memeluk
benda atau orang yang membutanya bahagia.
Ia juga bisa merasakan Sedih tatkala
kehilangan sesuatu yang disayanginya. Ia akan menangis dan kehilangan gairah
mengerjakan kegiatan sehari-hari.
Ia mulai belajar untuk mencintai
sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengungkapkan Kasih sayangnya dengan
memeluk, menepuk, mencium obyek yang disayangi dengan kasih sayang, mengajak
bicara dengan mesra, mengelus-elus binatang yang disayangi dan menggendongnya.[7]
Perkembangan emosi
evaluatif yang disadari ini sangat dipengaruhi oleh respons orang tua terhadap
perilaku anak. Sebagai contoh, seorang anak akan mengalami perasaan bersalah
ketika orang tua berkata “Kamu seharusnya tidak boleh menggigit kakakmu”.
Beberapa di antara
perubahan penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal adalah
meningkatnya kemampuan untuk membicarakan emosi diri dan orang lain dan
peningkatan pemahaman tentang emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai
penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami.
Ketika menginjak usia
4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi
emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa mereka harus mengatur emosi mereka
untuk memenuhi standar sosial.
Orang tua, guru, dan
orang dewasa lain di sekitarnya dapat membantu anak-anak memahami dan
mengontrol emosi mereka. Para orang dewasa dapat berbicara dengan anak-anak
untuk membantu mereka mengatasi stres, kesedihan, kemarahan, atau perasaan
bersalah. Belajar mengekspresikan emosi tertentu dan menutupi emosi yang lain,
adalah pelajaran yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari anak-anak. Seorang
anak yang marah jika harus menunggu sesuatu atau tertawa ketika melihat anak
lain menangis karena terjatuh, dapat diajarkan untuk memahami perasaan anak
lain. Seorang anak yang terlalu menonjolkan kemenangannya dalam sesuatu hal
dapat diingatkan bahwa rasanya sangat menyedihkan bagi pihak yang kalah.
Kemampuan mengatur emosi
adalah keterampilan penting yang akan membantu hubungan anak dengan teman
sebaya. Anak-anak yang moody dan
memiliki emosi negatif akan mengalami penolakan yang lebih besar dari
teman sebaya mereka. Sedangkan anak-anak dengan emosi positif akan menjadi
populer karena mereka mampu meningkatkan kompetensi sosial mereka serta
merespon dengan cara yang lebih kompeten secara sosial ketika mereka
diprovokasi secara emosional oleh teman sebaya, dengan cara mengatur emosi
mereka.
Berikut adalah rangkuman
karakteristik komunikasi dan pemahaman anak kecil mengenai emosi:
Rentang Usia
|
Deskripsi
|
2-4 tahun
|
Peningkatan
pesat kosa kata mengenai emosi
Penamaan
emosi diri dan orang lain dengan tepat dan juga dapat membicarakan emosi yang
dialami pada masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Dapat
membicarakan penyebab dan konsekuensi dari emosi tertentu, dan juga
mengidentifikasi hubungan emosi dengan situasi tertentu.
Dapat
menggunakan bahasa emosi pada permainan pura-pura.
|
5-10 tahun
|
Menunjukkan
peningkatan kemampuan untuk melakukan refleksi secara verbal tentang hubungan
emosi dengan situasi tertentu.
Memahami
bahwa sebuah kejadian yang sama dapat menyebabkan perasaan yang berbeda pada
orang yang berbeda, dan kadang-kadang perasaan dapat bertahan lama setelah
kejadian yang menyebabkannya.
Menunjukkan
tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengatur dan mengontrol emosi
sesuai dengan standar sosial.[8]
|
3.
Masa kanak-kanak madya dan kanak-kanak akhir
Berikut ini adalah beberapa perubahan yang
penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak madya dan akhir.
(Kuebli, 1994; Wintre & Vallance, 1994).
·
Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi
kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu (Kuebli, 1994). Emosi-emosi ini
menjadi lebih terinternalisasi (self-generated) dan terintregasi dengan
tanggung jawab personal.
·
Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja
seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu.
·
Peningkatan kemampuan untuk menekan atau
menutupi reaksi emosional yang negatif.
·
Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan
perasaan tertentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami
emosi tertentu.
Secara singkat, “ketika mencapai masa
kanak-kanak madya, seorang anak menjadi lebih reflektif dan strategis dalam
kehidupan emosional mereka...tetapi anak dalam usia ini juga memiliki kemampuan
menunjukkan masa sebelumnya”. (Thompson & Goodvin, 2005. Hal 401-402)
4.
Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa yang sulit secara
emosional. Tidak selamanya seorang remaja berada dalam situasi “badai dan
stress”, tetapi fluktuasi emosi dari tinggi ke rendah memang meningkat pada
masa remaja awal. (Rosenblum & Lewis, 2003). Seorang remaja bisa saja
merasa di puncak dunia pada suatu saat namun merasa tidak berharga sama sekali
pada waktu berikutnya. Seorang remaja akan sering merajuk tidak tahu bagaimana
mengekspresikan emosi mereka. Hanya dengan sedikit atau bahkan tanpa provokasi
sama sekali, mereka bisa saja meledak di depan orang tua atau
saudara-saudara mereka.
Reed Larson dan Maryse Richards (1994)
menemukan bahwa remaja melaporkan emosi yang lebih ekstrem dan lebih
berubah-ubah dibandingkan orang tua mereka. Sebagai contoh, seorang remaja lima
kali lebih mungkin untuk menyatakan dirinya “sangat bahagia” dibandingkan dengan
orang tua mereka. Penemuan ini mendukung pandangan yang menyatakan remaja
adalah orang yang sangat moody dan mudah berubah-ubah emosinya.
(Rosenblum & Lewis, 2003)
Sangat penting bagi orang dewasa untuk
menyadari bahwa moody adalah aspek normal dari masa remaja awal, dan
kebanyakan remaja akan melalui masa ini untuk kemudian berkembang menjadi orang
dewasa yang berkompeten. Meskipun begitu, untuk remaja tertentu emosi-emosi
yang dialami pada masa ini dapat menyebabkan masalah yang serius, terutama remaja
perempuan yang lebih rentan terhadap depresi. (Nolen-Hoeksema, 2004)
Adanya fluktusi emosi pada masa remaja awal
mungkin berhubungan denga perubahan hormonal pada masa ini. Mood akan menjadi
lebih tidak ekstrem seiring dengan beralihnya remaja menjadi orang dewasa, dan
penurunan ini mungkin saja berhubungan dengan adanya adaptasi terhadap kadar
hormon yang ada dalam tubuh. Meskipun begitu, kebanyakan peneliti menyimpulkan
bahwa hormon hanya memiliki sedikit peranan kecil. Biasanya faktor ini
beasosiasi dengan faktor-faktor lain seperti stres, pola makan, aktivitas
seksual, dan hubungan sosial. (Rosenblum & Lewis, 2003)[9]
C.
Teori Psikososial Erikson
Teori perkembangan
psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi.
Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam
beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita
kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu
berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi
sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan
mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8
(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya
bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat
berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan
dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika
tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika
tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.
Dalam
setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang
merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik
ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk
mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust
vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
·
Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
·
Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson
terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling
dasar dalam hidup.
·
Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan
kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada
anak.
·
Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan
merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak
tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya
diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan
menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak
dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy)
VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi
pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
·
Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial
Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan
besar dari pengendalian diri.
·
Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan
penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi,
alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk
mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan
dan kemandirian.
·
Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan
pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga
pemilihan pakaian.
·
Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa
aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup
dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa
bersalah (Guilt)
· Terjadi
pada usia 3 s/d 5 tahun.
· Selama masa
usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui
permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka
lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut
perilaku aktif dan bertujuan.
· Anak yang
berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain.
Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
· Mereka yang
gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu,
dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan
dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat
cemas.
· Erikson
yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa
berhasil.
Tahap 4. Industry
vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
· Terjadi pada
usia 6 s/d pubertas.
· Melalui
interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
· Anak yang
didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan
percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
· Anak yang
menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau
teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
· Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat
denganpengalaman-pengalaman
baru.
· Ketika
beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak,
mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual.
· Permasalahan
yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnyarasa
rendah diri, perasaan
tidak berkompeten dan tidak produktif.
· Erikson
yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
Tahap 5. Identity
vs identify confusion (identitas vs
kebingungan identitas)
· Terjadi pada
masa remaja, yakni
usia 10 s/d 20 tahun
· Selama remaja
ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
· Anak dihadapkan
dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju
tahap kedewasaan).
· Anak
dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang
dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi
banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
· Jika
remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif
untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan
dicapai.
· Jika
suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak
secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak
dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
· Namun bagi
mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri,
perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
· Bagi mereka
yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa
tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy
vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
· Terjadi selama
masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
· Erikson percaya
tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain.
· Mereka yang
berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
· Erikson percaya
bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang
intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan
diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan
lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
· Jika mengalami
kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan
orang.
Tahap 7. Generativity
vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
· Terjadi selama
masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
· Selama masa
ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga.
· Mereka yang
berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap
dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
· Mereka yang
gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di
dunia ini.
Tahap 8. Integrity
vs depair (integritas vs putus asa)
· Terjadi selama
masa akhir dewasa (60an tahun)
· Selama fase ini
cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
· Mereka yang
tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami
banyak penyesalan.
· Individu akan
merasa kepahitan hidup dan putus asa
· Mereka yang
berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami.
· Individu ini
akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
D.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sosio-Emosional.
Dalam perkembangan sosio-emosional anak, tentu ada beberapa faktor yang
ikut mempengaruhinya. Ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan
sosio-emosional anak yaitu:
1.
Perlakuan dan Cara
Pengasuhan Orang Tua
Secara garis besar ada tiga tipe gaya pengasuhan orang tua yakni otoriter,
permisif, dan otoritatif.
Tipe
|
Perilaku Orang Tua
|
Karakteristik Anak
|
Otoriter
|
Kontrol yang ketat dan penilaian yang kritis terhadap
perilaku anak, sedikit dialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta
kurang hangat dan kurang terjalin secara emosional
|
Menarik diri dari pergaulan serta tidak puas
dan tidak percaya terhadap orang lain.
|
Permisif
|
Tidak mengontrol, tidak menuntut, sedikit
menerapkan hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat dan menerima
|
Kurang dalam harga diri, kendali diri, dan
kecenderungan untuk bereksplorasi
|
Otoritatif
|
Mengontrol, menuntut, hangat, reseptif,
rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta menghargai
disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan
|
Mandiri, bertanggung jawab secara sosial,
memiliki kendali diri, bersifat eksplloratif, dan percaya diri
|
2.
. Kesesuaian antara
bayi dan pengasuh
Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bisa
saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga ada
penyesuain diri antar masing-masing. Jika terjadi ketidakcocokan antara
pengasuh dan anak maka akan berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi,
dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa
menangkap respon apa yang sang anak inginkan, agar terjadi jalinan kasih sayang
antara mereka, dan tidak menimbulkan rasa benci
3.
Temperamen bayi
Temperamen bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang
pengasuh agar bisa terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada
tiga gaya perilaku bayi yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit dan bayi yang
lamban. Ciri bayi yang mudah adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan
mau mendekati objek atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur,
tidak senang terhadap perubahan situasi, sering menangis, menempakkan perasaan
negative. Sedangkan bayi yang lamban adalah bayi yang cenderung kurang adaptif,
menarik diri, kurang aktif dan intensitas respon kurang.
4.
Perlakuan guru di
sekolah
Apa yang guru perbuat di sekolah akan berpengaruh terhadap anak didiknya.
Perlakuan guru terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
perkembangan sosioemosional anak. Pengaruh guru tidak hanya pada aspek kognitif
anak, tetapi juga segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan guru di depan
anak didiknya, karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi
pengalaman-pengalaman anak.
E.
Masalah –Masalah dalam Perkembangan Sosio-Emosional serta Solusinya.
Kadang-kadang
emosi tertentu dapat menimbulkan masalah besar bagi anak-anak. Kita akan
berfokus kepada 2 masalah depresi dan bunuh diri. Kita juga akan menelusuri
stres yang ada pada kehidupan anak-anak dan cara-cara agar mereka dapat
mengatasinya dengan efektif.
1. Depresi
Depresi
adalah gangguan mood di mana seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat.
memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat bosan. Individu merasa selalu
tidak enak badan, gampang kehilangan stamina, selera makan yang buruk, tidak
bersemangat, dan tidak memiliki motivasi.
a.
Depresi pada Masa Kanak-kanak
Pada
masa kanak-kanak perilaku yang berhubungan dengan depresi sering kali lebih
luas jika dibandirigkan dengan pada orang dewasa, hal mi rnenyebabkan diagnosis
menjadi lebih sulit (Weiner, 1980). Banyak dari anak yang depresi menunjukkan
agresi, kecemasan. prestasi yang buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan
juga hubungan yang buruk dengan teman sebaya.
Apakah
yang menyebabkan timbulnya depresi pada masa kanak-kanak? Ada beberapa sebab
yang dianggap menimbulkan hal ini: Biologis, kognitif dan lingkungan. Dan
berbagai pandangan mengenai hal ini ada tiga pandangan yang mendapat perhatian,
yaitu teori perkembangan Bowlby, teori kognitif Beck, dan teori learned
helplessness dari Seligman.
John
Bowlby (1969. 1989) menyatakan bahwa attachment yang insecure. kurangnya cinta
kasih dan afeksi dalam pengasuhan anak, atau kehilangan orang tua pada masa
kanak-kanak mengakibatkan anak mengembangkan skema kognitif yang negatif. Skema
mi akan terus dibawa dan mempengaruhi bagaimana pengalaman yang akan datang
akan diinterpretasi. Ketika pada pengalaman yang akan datang anak juga
mengalami kehilangan tertentu. anak akan menginterpretasikan kehilangan ini
sebagai kegagalan dalam membina hubungan positif. dan biasanya hal mi akan
menyulut timbulnya depresi.
Dalam
pandangan kognitif Aaron Beck (1973), individu akan depresi jika pada masa awal
perkembangannya mereka membentuk skema kognitif yang ditandai dengan devaluasi
diri dan tidak percaya diri mengenai masa depan. Mereka biasanya memiliki
pemikiran-pemikiran yang negatif, dan pemikiran negatif ini akan meningkatkan
pengalaman negatif dan individu tersebut. Anak yang depresi akan menyalahkan diri
sendiri secara berlebihan. Dalam pandangan Beck. depresi pada anak dilihat
sebagai hasil perkembangan dari dua kecenderungan kognitif: (1) Anak terlalu
memperhatikan petunjuk negatif di lingkungan, dan (2) mengidentifikasi diri
mereka sebagai sumber dan kejadian negatif (Quiggle dkk. 1992).
Teori
Martin Seligman mengenai depresi adalah learned helplessness. Yaitu ketika
seorang individu mengalami pengalaman negatif dan mereka tidak memiliki kontrol
rnengenai hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres dan rasa
kesakitan yang panjang mereka akan lebih mungkin untuk mengalarni depresi.
(Seligman. 1975). Dalam pandangan mi. depresi akan terjadi setelah suatu
peristiwa negatif di mana individu menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi
yang menyalahkan diri sendiri (Abramson, Metaisky, & Alloy, 1989). Mereka
menyalahkan diri sendiri karena menyebabkan peristiwa tersebut. Dengan model
penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspektasi bahwa tidak ada perilaku
yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dan peristiwa yang sama di masa
yang akan datang, yang akan menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan,
sikap pasif, dan depresi.
b. Depresi pada Orang
tua
Depresi
biasanya dianggap sebagai masalah individual. Tetapi peneliti menemukan adanya
saling keterikatan antara orang yang depresi dan konteks sosial mereka. Saling
ketergantungan ini sangat penting terutama dalam kasus Depresi pada orang tua
dan bagaimana penyesuaian diri anak (Downey & Coyne, 990). Depresi adalah
gangguan dengan prevalensi yang sangat tinggi-sedemikian tingginya sehingga
sering disebut flunya gangguan mental. Di antara wanita dalam usia subur,
depresi timbul dengan tingkat sekitar 8 persen, dan 12 persen pada wanita yang
baru saja melahirkan. Dan hal ini bisa kita lihat ada banyak anak-anak yang memiliki
orang tua yang depresi.
Efek apa
yang dapat ditimbulkan dari hamil Ibu yang depresi menunjukkan tingkat perilaku
yang lebih rendah dan menunjukkan afeksi yang lebih terbatas; mereka melakukan
strategi kontrol yang mereka anggap tidak menyusahkan mereka, bahkan
kadang-kadang bersikap negatif dan mengancam terhadap bayi mereka. Penelitian
pada anak-anak dengan orang tua yang mengalami depresi memperlihatkan bahwa
depresi pada orang tua sangat berhubungan dengan masalah penvesuaian diri dari
gangguan psikologis, terutama depresi, pada anak mereka (Radke-Yarrow dkk,
1992). Meskipun begitu, biasanya permasalahan perkawinan mendahului,
menyebabkan, atau terjadi bersamaan dengan depresi pada orang tua. dalam kasus ini,
permasalahan perkawinan mungkin saja menjadi faktor kunci yang menimbulkan
masalah penyesuaian diri pada anak-anak, alih-alih depresi orang tua mereka.
(Gelfiand. Teti, & Fox, 1992).
Ketika
orang tua mengalami depresi, sangat penting bagi anak untuk mengembangkan
persahabatan yang kuat di luar rumah atau sukses di sekolah dan di lingkungan
pergaulan (Berdslee, 2002). Anak juga bisa mengambil manfaat zdari pemahamaan
terhadap situasi di keluarganya dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan
refleksi diri.
c. Depresi pada Remaja
Depresi
lebih mungkin terjadi pada masa remaja dibandirigkan pada masa kanak-kanak, dan
remaja putri memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja putra. (Blatt, 2004; Graber. 2004; Nolen-Hoeksema, 2004, 2007). Beberapa
penyebab dan perbedaan antar jenis kelamin ini adalah:
·
Remaja putri cenderung untuk tenggelam dalam depresi mereka sehingga
menguatkan depresi tersebut.
·
Self-image dan
remaja putri, terutama body imagenya, cenderung lebih negatif dibandirigkan
dengan remaja putra.
·
Puber terjadi lebih cepat pada remaja putri jika dibandirigkan dengan remaja
putra, sehingga remaja putri mengalami berbagai perubahan penga1aman hidup yang
sangat banyak pada masa-masa SMP, yang dapat meningkatkan depresi.
Beberapa
faktor dalam keluarga juga rnenyebabkan remaja riskan untuk mengalami depresi
(Blatt. 2004; Graber, 2004, Holmes & Holmes, 2005). beberapa faktor ini
seperti orang tua yang juga mengalami depresi, orangtua yang tidak memberikan
dukungan emosional, orang tua yang memiliki konflik perkawinan yang tinggi. dan
juga orang tua yang memiliki masalah keuangan.
Hubungan
teman sebaya yang buruk juga berhubungan dengan depresi pada remaja. Lebih
jelasnya, kecenderungan untuk mengalami depresi pada remaja berhubungan dengan
ketiadaan hubungan yang erat dengan sahabat, jarangnya berhubungan dengan
teman, dan penolakan dan teman sebaya.
Pengalaman
dengan perubahan-perubahan yang terlalu menantang dan sulit juga berhubungan
dengan simptom depresi pada remaja. (Compas, 2004; Compas & Grant 1993,
Mazza, 2005). Perceraian orang tua merupakan salah satu contoh pengalaman
tersebut. Hal mi meningkatkan simptom depresi pada remaja. Selain itu remaja
yang mengalami puber tepat pada saat mereka baru lulus SD dan masuk ke SMP
mengalami depresi yang lebih tinggi jika dibandirigkan dengan remaja yang baru
mengalami puber setelah masuk SMP.
2. Bunuh Diri
Perilaku
bunuh diri sangat jarang terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi meningkat sangat
tajam pada masa rernaja awal. Bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga
terbesar pada remaja yang berusia antar 13 sampai 19 tahun di Amerika.
(National Center for Health Statistics, 2004). Meskipun kasus bunuh diri pada
remaja meningkat dalam satu dekade terakhir, hal ini masih merupakan kasus yang
relatif jarang terjadi. Pada tahun 2002. 1 dari 10.000 individu berusia 15-24
tahun melakukan bunuh diri (National Center for Health Statistics, 2004).
Jumlah
yang lebih banyak ditemukan terkait remaja yang pernah memikirkan untuk bunuh diri
atau melakukan percobaan bunuh diri (Borowsky, Ireland, & Resnick. 2001:
Cox, Enns, & Clara. 2004; Mazza, 2005). Dalam sebuah penelitian nasional 17
persen dari pelajar SMA di Amenika menyatakan bahwa mereka pernah serius
berpikir untuk melakukan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir (National Center
for Health Statistics, 2004). Kurang dan 3 persen melaporkan benar-benar
melakukan percobaan bunuh diri yang rnengakibatkan harus dirawat oleb dokter
akibat cedera. keracunan atau over-dosis obat.
Remaja
yang seperti apakah yang lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri? Semakin
dekat hubungan genetis seseorang dengan orang yang melakukan bunuh diri,
semakin mungkin orang tersebut untuk juga melakukan bunuh diri. (Cerel &
Roberts, 2005). Remaja putri lebih mungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandirig remaja putra, tetapi remaja putra lebih mungkin untuk berhasil dalam
bunuh diri tersebut. Remaja pria biasanya menggunakan cara-cara yang lebih
mematikan seperti menggunakan senjata api, sementara remaja putri lebih mungkin
melakukan percobaan bunuh diri yang tidak langsung mematikan seperti dengan
memotong urat nadi atau menelan pil tidur berlebihan. Penelitian terakhir
menunjukkan baik pada remaja putna maupun putri, penyalahgunaan narkoba
berhubungan dengan meningkatnya pemikinan untuk bunuh diri dan juga percobaan
bunuh diri (Hailfors dkk, 2004).
Remaja
pada populasi seksual minoritas (homo, lesbian, dan biseksual) sangat rentan
terhadap bunuh diri in laporan awal menunjukkan bahwa remaja ini 3 sampai 7
kali lebih rnungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri jika dibandirigkan
dengan remaja heteroseksual. (Ferguson, Harwood, & Beautrais, 199; Herrill
dkk, 1999). Tetapi penelitian Rich Savin-Williarns (2001) rnenunjukkan bahwa
remaja gay dan lesbian hanya sedikit lebih tinggi jika dibandirigkan dengan
remaja heteroseksual (Savin-Williams, 2001). Dia berargumen bahwa penelitian
sebelumnya terlalu membesar-besarkan tingkat bunuh diri pada remaja homo dan
lesbian karena hanya meneliti remaja yang mernang mengalami masalah dan hanya
melakukan survey pada remaja yang mengikuti support group atau datang ke
shelter untuk remaja Homoseksual. Penelitian terakhir pada 12.000 remaja,
menunjukkan 15 persen dan remaja homoseksual menyatakan mereka pernah melakukan
percobaan bunuh diri, sedangkan pada remaja heteroseksual 7 persen (Russell
& Joyner, 2001).
Ada
beberapa karaktenisitik hubungan sosial pada remaja yang dianggap berhubungan
dengan perilaku bunuh diri atau percobaan bunuh diri (Holmes & Holmes,
2005; Mazza, 2005). Remaja tersebut mungkin saja memiliki sejarah ketidak stabilan
dan .ketidakbahagiaan dalam keluarga. Sama seperti kekurangan afeksi dan
dukungan emosional, tingkat kontrol yang terlalu tinggi dan tekanan berprestasi
yang terlalu berlebihan dan orang tua pada masa kanak-kanak. menjadi hal-hal
menyebabkan depresi pada remaja. kombinasi dan hal ini juga muncul sebagai
faktor yang menyebabkan percobaan bunuh diri. Biasanya remaja ini juga kekurangan
hubungan pertemanan yang suportif.
Bagaimanakah
profil psikologis dan remaja dengan kecenderungan bunuh diri remaja dengan
kecenderungan bunuh diri biasanya memiliki simptom depresi American Academy of
Pediatrics, 2000: Gadpaille, 1996). Meskipun tidak semua remaja yang depresi
melakukan percobaan bunuh diri, depresi tetap menjadi faktor yang dianggap
sebagai pencetus bunuh diri pada remaja. Perasaan tidak adanya adanya harapan. self-esteem
yang rendah, serta self -blame yang tinggi juga dianggap berhuhungan
dengan perilaku bunuh diri pada remaja (Hanter & Marold, 1992; Harter &
Whitesell, 2001; Werth, 2004).
Perhatian
yang muncul akhir-akhir ini mengenai perilaku bunuh diri pada remaja adalah
keterkaitan antara obat antidepresan dan pemikiran untuk melakukan bunuh diri
(Lock dkk, 2005). Pada bulan Oktober 2004, FDA mengeluarkan laporan berdasarkan
tinjauan dan hasil penelitian. Laporan ini menyimpulkan bahwa 2 sampai 3 persen
dari remaja yang menggunakan antidepresan mengalami peningkatan dalam pikiran
untuk melakukan bunuh diri. Diperkirakan bahwa antidepresan telah diresepkan kepada
sekitar 1 juta anak-anak dan remaja di Amerika.
3. Stres dan Coping
Stres
adalah respons individu terhadap situasi atau peristiwa (disebut stresor) yang
mengancam dan melebihi kemampuan coping mereka. Faktor kognitif, kejadian
sehari-hari, dan juga faktor sosiokultural merupakan hal-hal yang berhubungan
dengan stres pada anak-anak.
Faktor
Kognitif kebanyakan orang
berfikir bahwa stres hanya terjadi ketika ada hal-hal yang menuntut diri kita
seperti ketika akan ujian, terlibat kecelakaan atau ketika kehilangan seorang
teman. Meskipun beberapa hal ini adalah sumber stres yang umum. tidak semua
orang mempersepsikan kejadian yang sarna sebagai hal yang membuat stres, atau
merasakan stres dengan cara yang sama (Hollon, 2006). Sebagai contoh, seorang
anak dapat saja menganggap ujian sebagai hal yang membuat stres, sementara anak
lain menganggap hal ini sebagai tantangan jadi dalam tingkat tertentu, apa yang
dianggap sebagai sumber stres bagi anak tergantung dari bagaimana kognitif
mereka menilai dan menginterpretasikan kejadi tersebut (Sanders & WoIls,
2005). Pandangan ini bisa dilihat dengan jelas pada teori dari peneliti masalah
stres Richard Lazarus (1996). Penilaian kognitif (cognitis appraisal)
adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menjelaskan interpretasi anak
terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka yang dianggap berbaha mengancam
atau menantang. dan pemahaman mereka apakah mereka memiliki sumber daya yang
cukup untuk mengatasi kejadian tersebut. Dalam pandang Lazarus, sebuah kejadian
dinilai dalam dua Iangkah:
·
Penilaian primer (primary appraisal). individu menginterpretasikan apakah
sebuah kejadian melibatkan bahaya atau kehilangan yang sudah terjadi, ancaman
bahaya di masa yang akan datang, atau sebuah tantangan yang harus diatasi.
Sebagai contoh, seorang anak gagal dalam ujian di sekolahnya kemarin, dia dapat
mengevaluasi kejadian itu dengan cara bahwa ada kerusakan yang sudah terjadi,
lalu memikirkan kemungkinan bahwa gurunya akan menganggap dirinya kurang baik
dalam pelajaran tersebut di memberikan nilai yang rendah pada akhir semester,
atau mungkin membuat sebuah komitmen bahwa dia tidak akan gagal lagi kelak.
·
Setelah anak menilai secara kognitif sebuah kejadian mengenai
kerusakan. bahaya, dan juga tantangan yang ditimbulkannya, menurut Lazarus
mereka akan melakukan penilaian sekunder. Dalam penilaian sekunder ini (secondary
appraisal), individu mengevaluasi sumber daya yang dimilikin dan menentukan
apakah mereka bisa mengatasi kejadian tersebut dengan efektif atau tidak.
Penilaian mi disebut penilaian sekunder karena terjadi setelah penilaian primer
dan tergantung dan penilaian sebuah kejadian apakah dianggap sebagai sesuatu
yang merusak, mengancam, atau menantang. Coping melibatkan berbagi macam
strategi pengaturan potensi, skill, dan kemampuan untuk mengatur kejadian yang
menyebabkan stres. Dalam contoh kegagalan dalam ujian tadi, seorang anak yang
menyadarii bahwa orang tuanya akan memberikan les padanya di mata pelajaran
tersebut akan lebih percaya diri dalam melakukan coping terhadap stres
dibandingkan dengan jika orang tuanya tidak memberikan dukungan apapun.
Menurut
Lazarus pengalaman anak mengenai stres merupakan perimbangan antara penilaian
primer dan sekunder. Ketika bahaya dan ancaman tinggi, sedang tantangan dan
sumber daya rendah. maka tingkat stres biasanya akan tinggi. Sedang jika
ancaman dan bahaya rendah, sedangkan tantangan dan sumber daya yang dimiliki
dianggap tinggi, maka biasanya tingkat stresnya sedang atau rendah.
Martin
Seligman, (1995) juga menyatakan bahwa faktor kognitif memegang peranan penting
dalam coping terhadap stres. Dia membedakan anak menjadi anak yang optimistik
dan anak yang pesimistik. Jika dibandingkan dengan anak yang optimis, anak yang
pesimis lebih mudah untuk mengalami depresi, merasa putus asa, berprestasi
buruk di sekolah, dan memiliki kesehatan yang lebih buruk. Anak ang pesimis
percaya bahwa ada alasan permanen kenapa hal-hal yang buruk selalu terjadi pada
mereka. Anak yang optimis menganggap bahwa pengalaman buruk adalah sesuatu yang
bersifat sementara. Ketika harus menyalahkan diri, anak yang optimis
menyalahkan perilaku mereka. sesuatu yang bisa diubah dan dipelajari, sedangkan
anak yang pesimis lebih mungkin untuk menyatakan bahwa pengalaman untuk itu
merupakan hasil dan kualitas-kualitas dalarn diri mereka.
Seligman
percaya bahwa anak yang pesimis dapat diubah menjadi anak yang optimis dengan
orang dewasa sebagai model. Orang dewasa tersebut menunjukkan cara-cara optimis
bagaimana mengatasi permasalahan mereka. Selain itu, ketika seseorang anak
pesimis merasa bimbang, orang tua harus memberikan penjelasan yang akan memacu
anak untuk berusaha lebih jauh. Seligman telah mengembangkan program untuk
membetulkan cara pandang yang salah mengenai masalah yang dihadapi dan
bagaimana mengajarkan cara-cara realistik untuk menginterpretasi kemunduran
atau kegagalan. Di dalam program mi juga termasuk permainan peran diskusi.
Dalam penelitian Seligman, program mi sangat efektif dalam mengubah orang yang
pesimis menjadi orang yang berpikiran optimis.
Kejadian
dan Masalah Sehari-hari
Anak-anak mengalami jangkauan stresor yang sangat luas, mulai dari yang biasa
sampai yang sangat parah. Stresor yang biasa ini adalah pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan sehari anak-anak, dan karena hal ini adalah hal yang umum
dijumpai maka biasanya sudah tersedia pola coping , yang sangat baik. Sebagai
contoh, kebanyakan orang tua menyadari bahwa ada kecemburuan yang terjadi antar
saudara, ketika seorang anak berhasil dalam sesuatu, maka saudaranya akan
merasa cemburu. Mereka tahu bagaimana kecemburuan ini terjadi dan tahu
bagaimana membantu anak untuk mengatasinya. Stres yang lebih parah terjadi
ketika seorang anak harus berpisah dengan orang tuanya karena kematian. sakit
keras, atau ketika diadopsi oleh orang lain. Pola coping yang sehat masaiah
yang seperti mi belum tersedia dengan baik. Bahkan ada pengalam lebih parah
seperti pada anak-anak yang ditelantarkan atau mengalami tindakan kekerasan selama
bertahun-tahun (Pfeffer. 1996). Contoh stress yang juga sangat parah adalah
pada korban inses, dan untuk kejadian yang sangat parah ini biasanya tidak ada
panduan cara coping yang efektif.
Kejadian
sehari-hari ataupun kejadian luar biasa yang dialami bisa merupakan sumber
stress (D’Ange1o & Wienbicki, 2003). Masalah sehari-hari yang dialami
anak-anak dalam keluarga bermasalah atau kemiskinan yang dialami dalam keluarga
dapat terakumulasi menjadi kehidupan yang menimbulkan stres, dan pada akhirnya
menyebabkan ganguan psikologis atau penyakit fisik (Pillow, Zautra, &
Sandier,1996).
Faktor
Sosiokultural salah
satu factor Sosiokultural yang berhubungan dengan stress adalah stress yang
diakibatkan akulturasi dan juga kemiskinan. Stress disebabakan proses akulturasi
adalah konsekuensi negative dari perubahan budaya yang disebabkan adanya persinggungan dua
budaya yang berbeda yang berlangsung lama. Anak-anak imigran dapat saja
mendapati bahwa teman sekolahnya tidak ada yang rnengetahui permainan masa
kecil mereka, mereka diolok-olok karena aksen bicara mereka, atau cara
berpakaian mereka yang berbeda. Seorang remaja putri yang tumbuh di Amerika
tetapi kedua orang tuanya adalah imigran dan sebuah kebudayaan yang tradisional
dan konservatif dapat saja mengalami kebimbangan apakah harus mengikuti cara
berpakaian sesuai dengan keinginan orang tua mereka atau mengikuti gaya busana
teman sebaya mereka. Ketika keluarga Afro-Amerika atau Latin pindah ke
lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah orang kulit putih. anak-anak
mereka dapat menjadi korban isolasi atau menjadi korban kekerasan.
Kemiskinan
menyebabkan stres yang cukup besar bagi seorang anak dan juga keluarga mereka
(McLoyd. 2000). Jika dibandingkan dengan anak lain, anak dan keluarga yang
miskin lebih mungkin mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa
dikontrol. Tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang
berbahaya, tugas-tugas tambahan yang memberatkan, dan juga ketidakpastian
ekonomi adalah stresor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin(Brooks-Gunn,
Leventhal, & Duncan, 2000). Kemiskinan biasanya dialami oleh anak dan etnis
minonitas dan juga keluarga mereka. Banyak orang yang miskin hanya merasakan
kerniskinan tersebut selama satu atau dua tahun. Meskipun begitu orang-orang
Afro Amerika dan juga keluarga dengan kepala keluarga wanita lebih riskan untuk
mengalami kemiskinan yang berlanjut.
Coping
terhadap stres Belajar
melakukan coping terhadap stres adalah aspek penting dan kehidupan emosional
anak-anak. (Bridges, 2003; Folkman & Moskowit 2004). Dalam diskusi kita
mengenai stres. kita sudah menjelaskan beberapa strategi yang dapat dipakai
oleh anak-anak untuk coping terhadap stres. Di antaranya adala ide dari Lazarus
mengenai penilaian kognitif dan penilaian tantangan, serta pandang; Seligman
yang menyatakan anak yang optimis lebih mungkin untuk melakuk coping secara
efektif dibandingkan anak yang pesimis. Para peneliti percaya bahwa akan lebih
menguntungkan bagi anak jika mereka melakukan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving) terhadap stress dibandingkan dengan lari atau menghindari
stres tersebut (Bridges, 2003: Folkman & Moskowitz, 2004; Lazarus & folkman,
1984). Sebagai contoh. seorang anak yang merespons nilai jelek dalam ulangan
dengan rnenambah jam belajar mereka dan mencari teknik belajar yang lebih
efektif akan Iebih mungkin melakukan coping yang efektif jika
dibandingkan dengan anak yang berpura-pura sakit ketika ulangan berikutnya
tiba.
Sangat
penting bagi pengasuh untuk membantu anak melakukan coping secara efektif.
Selain itu, juga perlu mendorong anak untuk aktif dan rnemilih strategi pemecahan
masalah dalam menghadapi stres. Dengan cara ini pengasuh dapat (1) menghilangkan
setidaknya satu stresor dari anak dan (2) mengajarkan anak berbagai strategi
coping yang baik.
Ketika
anak menghadapi beberapa stresor dalam waktu yang bersamaan, biasanya stres
yang dihasilkan bukan merupakan akumulasi dan stres tersebut, tetapi adalah
perkalian dan stresor-stresor tersebut (Rutter, 1979). Satu stresor akan
melipat gandakan efek dan stresor yang
lain. Dengan hanya menghilangkan satu elemen stresor. dapat membantu anak
menjadi merasa lebih kuat dan kompeten. sebagai contoh. Lisa, selalu datang ke
sekolah dalam keadaan lapar. Gurunya membantu Lisa dengan menyediakan sarapan
hangat yang dapat ia nikmati ketika ke sekolah, hal ini akan meningkatkan
konsentrasinya ketika mengikuti pelajaran. Hal ini juga mampu membantu Lisa
menekan kecemasan yang dialami orang tuanya akan bercerai.
Anak
yang menguasai beberapa teknik coping akan lebih mungkin untuk beradaptasi dan
berfungsi dengan kompeten ketika dihadapkan dengan stres. mempelajari teknik
coping yang baru, anak dapat mencegah dirinya merasa inkompeten dan sangat dan
juga dapat meningkatkan kepercaaan diri mereka. Sebagai contoh KIM sangat lega ketika seorang psikolog klinis membantu
dia mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dia temui ketika menjenguk saudara
perempuannya yang sedang dirawat di
rumah sakit. Kim sangat takut pada rumah sakit dan usaha yang dia lakukan
dalarn melakukan coping terhadap ketakutan ini adalah menarik diri dan
menghindar. menyatakan dia tidak ingin bertemu dengan perempuannya, meskipun
pada kenyataann dia sangat rindu pada saudara perempuannya tersebut.
Anak-anak
cenderung untuk mengaplikasikan strategi coping mereka ke semua situasi sang
menyebabkan stres. Orang dewasa dapat membantu hal ini dengan memberikan contoh
bagaimana menggunakan strategi coping ini pada situasi yang sesuai sehingga
menguntungkan bagi mereka. Sebagai contoh. Jenifer mengunakan strategi coping
dengan melakukan altruisme ketika ibunya dirawat dirumah sakit karena kanker.
Dia melakukan coping terhadap perpisahan dengan dengan mengambil peran ibu
untuk ayahnya. adik laki-lakinya dan ke1asnya. Tentu saja teman sekelasnya
menjadi terganggu akan hal rnenggodanya. Guru Jenifer menyadari masalah mi dan
membantu cekspresikan altruismenya dengan menugaskan dia menjadi pengasuh ian
di sekolah dan juga bertanggung jawab untLik kebersihan di kelas. epada
teman-temannya berhenti, sehingga teman-temannya tidak lagi anak benanjak
dewasa, mereka bisa menilai situasi penyebab stress urat dan dapat menentukan
seberapa besar kontrol yang menekan truasi tersebut. Anak yang lebih tua akan
memiliki altennatif coping tenhadap kondisi penyebab stres dan lebih banyak
menggunakan nitif (Compas, 2004; Compas, dkk, 2001, Saanni, 1999). Sebagai lebih
tua akan lebih baik dibandingkan anak yang lebih muda dalam mengalihkan
pernikiran mereka ecara sadar kepada hal-hal lebih tidak membuat stres. Anak
sang lebih tua akan lebih baik da melakukan refrarning (indi\ idu mengubah
persepsi terhadap situasi y rnenyebabkan stres). Sebagai contoh. anak ang lebih
muda mungkin a sangat kecewa ketika gurunya tidak men apa “Selamat pagi” ketika
mer datang ke sekolah. Anak yang lebih tua akan dapat melakukan refram terhadap
situasi mi dan berfikir “Mungkin ibu guru sedang sibuk den urusan lain dan lupa
menyapa saya”.
Pada
usia 10 tahun, umur anak sudah dapat mengalihkan pikiran mereka dan melakukan
reframing untuk melakukan coping terhadap str (Saarni, 1999). Meskipun begitu,
jika keluarga mereka bukan merupak keluarga yang suportif dan memiliki masalah
yang banyak atau traur tertentu, bisa saja menyebabkan anak menghadapi stres
yang berlebih sehingga tidak bisa menggunakan strategi tersebut. Anak juga
biasan akan gagal untuk mengunakan strategi coping yang mereka miliki jika
dihadapkan pada kejadian traumatis yang luar biasa.[10]
BAB III
PENUTUP
Pekembang
sosio-emosional bayi sangat di pengarui beberapa maca perubahan yang
dimilikinya seperti perubahaan emososional bayi ketika dia sedang marah,
menangis, tersenyum. Perubahan itu sangat berbeda-beda dan itu bisa kita lihat
dengan mata indra kita. Dan ada pula
faktor sosio emosional bayi seperti halnya bagaimna cara pengasuhan orang
tua,sebab pengasuhan ornag tua itu sangat mempengaruhi terhadap emosional bayi,
dan ada lagi kecocokan pengasuh bayi,yang terakir yaitu temperamen bayi, semua
itu sangat berkaitan dan saling melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. “Sosiologi”. Wikipedia (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, diakses 20 November 2011)
Anonim. “Perkembangan Sosio Emosional
Masa Bayi”. Blogspot (online), 2009 (http://www.absoft.info/kids-literacy/perkembangan-sosio-emosional-masa-bayi.html, diakses 20 November 2011)
Rumini, Sri dan Siti Sundari. 2004. Perkembangan
Anak dan Remaja. Jakarta: PT: RINEKA CIPTA
Santrock,
John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Santrock,
John W. 2007. Life Span Development. Jakarta: Erlangga
[1]
Anonim, “Sosiologi”, wikipedia on line, http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi,
diakses tanggal 20 November 2011.
[2]
Niechan, “Bahasa Indonesia Alat Pemersatu Bangsa”, Blogspot
on line, http://www.absoft.info/kids-literacy/perkembangan-sosio-emosional-masa-bayi.html,
diakses tanggal 20 November 2011.
[3] John W.
Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007), 9.
[4] ibid.,11-15
[5]
Sri Rumini dan Siti Sundari, “Perkembangan Anak dan Remaja” (Jakarta: PT:
RINEKA CIPTA, 2004), 31-33.
[6]
John W. Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007), 15-16.
[7]
Sri Rumini dan Siti Sundari, “Perkembangan Anak dan Remaja” (Jakarta: PT:
RINEKA CIPTA, 2004), 48-50.
[8]
John W. Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007), 17-18.
[9] Ibid, 18-19
[10]
Ibid, 20-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar