A.
Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behaviouristik
Pandangan tentang belajar menurut
aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain,
belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respons.[1]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi
belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila penguatan dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.[2]
Istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement)
kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu
kurang tepat. Dalam karya Parlov, misalnya, suatu penguat (reinforcer)
didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang
menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Stimuli ini bisa
disebut sebagai penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika
imbalan itu dianggap sebagai suatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga
tidak mau menyamakan penguat dengan imbalan. Menurut mereka,
penguat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului
kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya dianggap sebagai sesuatu
yang diberikan atau diterima hanya untuk prestasi yang layak pencapaiannya
membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan untuk tindakan yang dianggap
diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena perilaku yang diinginkan itu
biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut diakui lewat pemberian
imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan memperkuat perilaku itu. Jadi
menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat perilaku, namun imbalan
tidak.[3]
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary
Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses.[4]
B.
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati.[5]
Thorndike menyebut asosiasi antara kesan indrawi dan
impuls dengan tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi. Cabang-cabang
asosiasionisme sebelumnya telah berusaha menunjukkan bagaimana ide-ide menjadi
saling terkait; jadi pendekatan Thorndike cukup berbeda dan dianggap sebagai
teori belajar modern pertama. Penekanannya pada aspek fungsional dari perilaku
terutama dipengaruhi oleh Darwin. Teori Thorndike bisa dipahami sebagai
kombinasi dari asosianisme, Darwinisme, dan metode ilmiah. Teori Thorndike ini
disebut pula dengan teori koneksionisme.
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses
belajar adalah trial-and-error learning (belajar dengan uji coba),
atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting (pemilihan
dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen awalnya, dengan
memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga
ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia bisa keluar dari perangkat
itu.
Thorndike menyebut waktu yang dibutuhkan hewan untuk
memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki
hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus
dimiliki hewan untuk memecahkna problem. Setiap kesempatan adalah usaha
coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang
benar.
Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk
mendapatkan solusi (membebaskan diri) sebagai fungsi percobaan suksesif
(kesempatan untuk membebaskan diri), Thorndike menyimpulkan bahwa belajar
bersifat incremental (inkremental/bertahap), bukan insightful
(langsung ke pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam
langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian
yang mendalam.
Dengan mengikuti prinsip parsimoni, Thorndike menolak
campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi
langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan terhadap arti penting nalar
dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa yang kemudian menjadi gerakan
behavioristik di Amerika Serikat.
Banyak orang yang terganggu oleh pandangan Thorndike
bahwa semua proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide,
dan juga terutama karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua
mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak
ada proses khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses
belajar manusia.
Ada tiga hukum belajar yang utama menurut Thorndike,
yakni: (1) hukum efek; (2) hukum latihan; dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum
ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.[6]
C.
Teori Belajar Menurut Watson
Menurut Watson,
Belajar sebagai
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati
dan diukur.
D.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Menurut Clark Hull, Belajar
merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan. Dalam konsep Hull,
teori yang ideal berbentuk struktur logis yang terdiri atas postulat-postulat
dan teorema-teorema berupa statemen mengenai berbagai segi perilaku. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan
kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehinggastimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan
dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
bermacam-macam bentuknya.
Clark Hull juga menggunakan variabel
hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun
dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat
berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi
juga dikaitkan dengan kondisi biologis.
E.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti
yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus
tertentu dan respon tertentu. Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan
sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan
belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan
stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan
penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan
mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh
anak.[7]
F.
Teori Belajar Menurut Skiner
Konsep-konsep yang dikemukanan
Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia
mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku
seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan
lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa
dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang
digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.[8]
G.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi
belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori
behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media Dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar atau siswa.
Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam
pembelajaran, Siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi
dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar
diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena
sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada
pada diri mereka.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa.
Tujuan pembelajaran
menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan
belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan0 dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan
pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa
menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi
bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah
selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pebelajar secara individual.
Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang
dikemukakan oleh siciati dan prasetia irawan (2001) dapat digunakan dalam
merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.
Menentukan tujuan-tujaun pembelajaran.
2.
Menagnalisis lingkungan kelas yang ada.
3.
Menentukan materi pembelajaran.
4.
Memecah materi pelajaran menjadi
kecil-kecil.
5.
Menyajikan materi pelajran.
6.
Memberikan stimulus.
7.
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan
siswa.
8.
Memberikan penguatan (penguatan positif
ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman.
9.
Memberikan stimulus baru.
10. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
12. Demikian seterusnya.
13. Evaluasi hasil belajar.[9]
Referensi:
Anonim. “Teori Belajar
Behavioristik”, Wikipedia (online), 2012 (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, diakses
tanggal 03 April 2012)
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta
Harland, Randy. “Teori Belajar
Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”, Wordpress (online),
2012 (http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/,
diakses tanggal 09 April 2012)
Hergenhahn
dan Olson, Matthew. 2008. Theories of Learning: Teori Belajar. Terj. Tri
Wibowo edisi ketujuh. Jakarta: Prenada Media
Uno, Hamzah. 2006.
Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
[1]
Hamzah B. Uno, “Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran” (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), 7.
[2]
Anonim, “Teori
Belajar Behavioristik”, Wikipedia on line, http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari
2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[3] B. R.
Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj.
Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 3.
[4]
Anonim, “Teori
Belajar Behavioristik”, Wikipedia on line, http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari
2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[5]
Asri Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
hal. 21.
[6]
B. R.
Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj.
Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 60-65.
[7]
Randy Harland,
“Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”, Wordpress on line, http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/,
diakses tanggal 09 April 2012.
[8] Asri
Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.
23-24.
[9]
Ibid, hal. 27-30.
posting-an nya menambah wawasan saya,,
BalasHapusthx's nasya :-)
wah postingnya menambah wawasan :) izin copas ya mbak
BalasHapus