Laman

Rabu, 18 April 2012

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran



A.      Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behaviouristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.[1]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguatan dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[2]
Istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement) kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu kurang tepat. Dalam karya Parlov, misalnya, suatu penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Stimuli ini bisa disebut sebagai penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap sebagai suatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat dengan imbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk prestasi yang layak pencapaiannya membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena perilaku yang diinginkan itu biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut diakui lewat pemberian imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan memperkuat perilaku itu. Jadi menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat perilaku, namun imbalan tidak.[3]
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses.[4]


B.       Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.[5]
Thorndike menyebut asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi. Cabang-cabang asosiasionisme sebelumnya telah berusaha menunjukkan bagaimana ide-ide menjadi saling terkait; jadi pendekatan Thorndike cukup berbeda dan dianggap sebagai teori belajar modern pertama. Penekanannya pada aspek fungsional dari perilaku terutama dipengaruhi oleh Darwin. Teori Thorndike bisa dipahami sebagai kombinasi dari asosianisme, Darwinisme, dan metode ilmiah. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial-and-error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia bisa keluar dari perangkat itu.
Thorndike menyebut waktu yang dibutuhkan hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkna problem. Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang benar.
Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk mendapatkan solusi (membebaskan diri) sebagai fungsi percobaan suksesif (kesempatan untuk membebaskan diri), Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (inkremental/bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian yang mendalam.
Dengan mengikuti prinsip parsimoni, Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan terhadap arti penting nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa yang kemudian menjadi gerakan behavioristik di Amerika Serikat.
Banyak orang yang terganggu oleh pandangan Thorndike bahwa semua proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak ada proses khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses belajar manusia.
Ada tiga hukum belajar yang utama menurut Thorndike, yakni: (1) hukum efek; (2) hukum latihan; dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.[6]


C.      Teori Belajar Menurut Watson
Menurut Watson, Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud  harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.  Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.


D.      Teori Belajar Menurut Clark Hull
Menurut Clark Hull, Belajar merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan. Dalam konsep Hull, teori yang ideal berbentuk struktur logis yang terdiri atas postulat-postulat dan teorema-teorema berupa statemen mengenai berbagai segi perilaku. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehinggastimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis.


E.       Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon tertentu. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.[7]

F.       Teori Belajar Menurut Skiner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.[8]   


G.      Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media Dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, Siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan0 dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh siciati dan prasetia irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.         Menentukan tujuan-tujaun pembelajaran.
2.         Menagnalisis lingkungan kelas yang ada.
3.         Menentukan materi pembelajaran.
4.         Memecah materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5.         Menyajikan materi pelajran.
6.         Memberikan stimulus.
7.         Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8.         Memberikan penguatan (penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun        hukuman.
9.         Memberikan stimulus baru.
10.     Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
11.     Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
12.     Demikian seterusnya.
13.     Evaluasi hasil belajar.[9]

Referensi:
Anonim. “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia (online), 2012  (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, diakses tanggal 03 April 2012)
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Harland, Randy. “Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”, Wordpress (online), 2012 (http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 09 April 2012)
Hergenhahn dan Olson, Matthew. 2008. Theories of Learning: Teori Belajar. Terj. Tri Wibowo edisi ketujuh. Jakarta: Prenada Media
Uno, Hamzah. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara


[1] Hamzah B. Uno, “Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran” (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 7.
[2] Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[3] B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj. Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 3.
[4] Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[5] Asri Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 21.
[6] B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj. Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 60-65.

[7] Randy Harland, “Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”, Wordpress on linehttp://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 09 April 2012.
[8] Asri Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 23-24.

[9] Ibid, hal. 27-30.

2 komentar:

  1. posting-an nya menambah wawasan saya,,
    thx's nasya :-)

    BalasHapus
  2. wah postingnya menambah wawasan :) izin copas ya mbak

    BalasHapus