Laman

Rabu, 18 April 2012

perkembangan sosio emosional


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Makalah ini menyusun berbagai masalah atau pengertian yang berada di mata kuliah perkembangan peserta didik yang membahas suatu topik yang patut kita diskusikan ataupun kita presentasikan di mata kuliah ini. Makalah ini membahas tentang topik sosioemosional yang menyorot lebih detil kami membahas emosional anak-anak, sebab kita sebagai calon orang tua kita harus mengerti emosional anak itu agar kelak nanti kalau sudah waktunya kita menjadi orang tua tidak akan kaget ataupun canggung terhadap tingkah laku anak kita semisal anak kita sedang menangis menangisnya karena apa, dan bagaimna cara kita untuk mendiamkan anak kita agar tidak menangis lagi, sebab tangisan anak itu bermacam-macam dan berbagai suara yang berbeda-beda.
Seperti itulah landasan makalah ini mengapa kami mengambil sosioemosional anak-anak. Agar kita faham dan mengerti apa yang ada dalam diri anak, sebab tanpa adanya itu maka kita tidak akan tau tentang apa yang dialami oleh anak tersebut. Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa kita jadikan suatu pelajaran,motivasi atau pengalaman tentang emosional anak-anak
B.       Rumusan Masalah
Makalah ini menyusun berbagai rumusan masalah yang akan di bahas, antara lain:
1.      Apakah pengertian dari perkembangan sosio-emosional?
2.      Bagaimanakah tahap-tahap perkembangan sosio-emosional?
3.      Bagaimanakah teori psikososial menurut Erikson?
4.      Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional?
5.      Apakah masalah yang biasa terjadi dalam perkembangan sosio-emosional serta bagaimanakah solusinya?




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dari sosio-emosional.
Sosio berasal dari bahasa Latin yaitu Socius[1] yang berarti kawan. Emosional berasal dari kata emosi menurut English and English, Emosi adalah “ A complex feeling state accompanied by characteristic motor and glandural activies ” ( Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).[2]
Di dalam emosi bayi terdapat beberapa macam emosi yaitu: Emosi positif dan  emosi negatif[3].
a)    Contoh emosi positif pada bayi: rasa senang, antusiasme, cinta.
b)    Contoh emosi negatif pada bayi: rasa cemas, marah, rasa bersalah, rasa sedih.

B.       Tahap-Tahap Perkembangan Sosio-Emosional
       Pada tahap perkembangan emosi awal, pembagian emosi diklasifikasikan menjadi 2:
·       Emosi Primer, muncul pada manusia dan juga binatang.
Yang termasuk dalam emosi primer ini adalah terkejut, tertarik, senang, marah, sedih, takut, dan jijik. Semua emosi ini muncul pada usia enam bulan pertama.
·      Emosi yang disadari (self-concious emotions), yang memerlukan kognisi, terutama kesadaran diri.
Yang termasuk dalam jenis ini adalah empati, cemburu, dan kebingungan yang muncul pada 1½ tahun pertama (setelah timbulnya kesadaran diri), selain itu ada juga bangga, malu, dan rasa bersalah yang mulai muncul pada 2½ tahun pertama.
Berikut adalah bagan awal kemunculan dari berbagai emosi:
Emosi Primer
3 bulan
Senang
Sedih
Jijik
2-6 bulan
Marah
6 bulan pertama
Terkejut
6-8 bulan
Takut- mencapai puncaknya pada usia 18 bulan

Emosi yang Disadari
1½-2 tahun
Empati
Cemburu
Kebingungan
2½ tahun
Kebanggaan
Malu
Rasa bersalah

1.        Masa Bayi
            Bentuk komunikasi emosional awal dari bayi:
a.     Tangisan
        Menangis adalah mekanisme penting yang dimiliki oleh anak yang baru lahir untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Tangisan pertama dari bayi menunjukkan bahwa paru-parunya sudah terisi udara. Tangisan juga memberi informasi mengenai sistem saraf pusat bayi. Ada tiga jenis tangisan bayi:
1)      Tangisan biasa: pola ritmis yang biasanya terdiri dari tangisan, diikuti oleh periode diam yang singkat, diikuti oleh desisan singkat lalu tangisan bernada lebih tinggi dari tangisan awal, lalu istirahat sejenak sebelum diikuti dengan set berikutnya.
Beberapa ahli masalah bayi percaya bahwa rasa lapar adalah salah satu kondisi yang menyebabkan tangisan ini.
2)      Tangisan marah: beberapa variasi tangisan biasa dengan lebih banyak udara yang dipaksa melewati pita suara.
3)      Tangisan kesakitan: tangisan tiba-tiba yang keras dan panjang, diikuti dengan menahan nafas; tidak ada rengekan awal sebelum tangisan ini.
Biasanya disebabkan oleh stimulus dengan intensitas yang tinggi.


b.      Senyuman
      Tersenyum juga merupakan cara penting dari seorang bayi untuk mengomunikasikan emosi. Ada dua macam senyuman pada bayi:
1)      Senyuman refleksif: senyuman yang tidak disebabkan oleh stimulus eksternal dan biasanya muncul pada masa 1 bulan awal sesudah kelahiran, biasanya pada saat tidur.
2)      Senyuman sosial: senyuman yang muncul karena stimulus eksternal, biasanya adalah wajah yang dilihat oleh bayi yang masih muda.
Senyuman sosial belum muncul sampai usia 2-3 bulan, meskipun beberapa peneliti percaya bahwa bayi akan meringis sebagai respons terhadap suara yang didengar bahkan pada usia 3 minggu.
c.       Ketakutan
     Ketakutan pada bayi ini biasanya mulai muncul pada usia 6 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 18 bulan, ekspresi ketakutan yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan kecemasan terhadap orang asing (stranger anxiety), di mana seorang bayi menunjukkan ketakutan dan kegelisahan terhadap orang asing. Hal ini biasanya muncul secara bertahap. Pertama kali timbul sekitar usia 6 bulan dalam bentuk reaksi gelisah. Pada usia 9 bulan, ketakutan terhadap orang asing ini sering kali menjadi lebih intens dan terus meningkat sampai ulang tahun pertama bayi tersebut.
     Tidak semua bayi menunjukkan kegelisahan ketika menghadapi orang asing. Selain perbedaan individual, konteks sosial dan karakteristik orang asing tersebut juga berpengaruh pada ketakutan bayi.
     Ketika bayi merasa aman, mereka akan lebih tahan terhadap kecemasan terhadap orang asing. Bayi akan lebih berani berhadapan dengan orang asing jika mereka berada di lingkungan yang familiar. Selain itu, bayi akan lebih tidak menunjukkan kecemasan ketika mereka berada di pangkuan ibu mereka jika dibandingkan jika mereka duduk dalam jarak beberapa meter dari sang ibu.
     Siapa dan bagaimana perilaku orang asing tersebut juga mempengaruhi kecemasan pada bayi. Bayi akan lebih cemas terhadap orang asing yang sudah dewasa jika dibandingkan orang asing yang masih anak-anak. Mereka juga akan berani berhadapan dengan orang asing yang menunjukkan sikap bersahabat, ramah, dan menunjukkan senyuman jika dibandingkan dengan orang asing yang pasif dan tidak tersenyum.
     Selain kecemasan terhadap orang asing, bayi juga mengalami ketakutan akan berpisah dengan pengasuhnya. Hal ini akan menyebabkan separation protest-menangis ketika ditinggalkan oleh pengasuhnya. Permulaan Separation protest yang dilakukan oleh bayi berbeda-beda tergantung pada kebudayaan mereka serta sikap sensitif orang tua mereka terhadap sinyal yang mereka berikan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa ibu dari bayi yang memiliki seperation protest yang tinggi adalah orang tua yang terlalu sensitif terhadap sinyal negatif dari bayi tetapi kurang sensitif terhadap sinyal positif dari bayi tersebut. Namun puncak separation protest yang dilakukan bayi adalah hampir sama di berbagai kebudayan, yaitu berkisar pada usia 13- 15 bulan.[4]
            Selain beberapa emosi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa bentuk komunikasi lain yang dilakukan oleh bayi untuk mengekspresikan emosinya, antara lain:
a.       Marah; meliputi: menjerit, meronta-ronta, menendang, mengibaskan tangan, memukul, berguling-guling, meronta, serta menahan napas. Penyebabnya karena keinginannya dihalangi.
b.      Rasa ingin tahu; dengan cara memegang benda-benda yang ingin diketahuinya.
c.       Gembira; meliputi: tersenyum, tertawa, menggerak-gerakkan tangan dan kaki, serta berteriak-teriak dengan mata berbinar-binar. Penyebabnya karena ia diajak bercanda, digelitik, diajak main, serta mendapat benda atau permainan yang disenanginya.
d.      Menyenangi sesuatu; meliputi memeluk, mendekap, menepuk-nepuk, serta mencium segala sesuatu yang disenanginya.
            Ada pula beberapa reaksi yang dilakukan oleh bayi bila berhadapan dengan orang di sekitarnya, antara lain:
a.       Reaksi Sosial Bayi kepada Bayi Lain
Terdapat beberapa sikap yang dilakukan oleh bayi untuk mencoba menarik perhatian bayi lain, di antaranya adalah:
-          Bayi berumur 4-7 bulan melambungkan badan ke atas dan ke bawah, menendang, tertawa, bermain-main dengan ludah, tersenyum dengan bayi lain.
-          Bayi berumur sekitar 9-13 bulan berusaha meremas baju dan rambut bayi lain, bermain-main bersama, walaupun kadang berebut mainan.
-          Bayi berumur sekitar 13-24 bulan berebut mainannya sudah berkurang, mereka sudah lebih senang bekerja sama dalam bermain, sudah mau berbagi rasa dan melakukan hubungan sosial.
b.      Reaksi Sosial Bayi kepada Orang Dewasa
-          Bayi berumur 2-3 bulan tampak tidak senang, terkadang menangis bila ditinggal sendirian. Sebaliknya, ia akan senang, tersenyum bila didekati oleh seseorang, siapapun orangnya.
-          Bayi berumur sekitar 4-5 bulan ingin ditimang oleh siapa saja yang mendekatinya. Selama itu, bayi mempelajari dan memperhatikan orang yang mendekat dan menghafalkan ciri-cirinya.  Hanya seseorang yang memiliki ciri yang menyenangkan yang berhasil mendekati sang bayi karena bayi akan takut bila didekati oleh seseorang yang memiliki ciri tidak menyenangkan.
-          Bayi berumur sekitar 6-7 bulan hanya tertarik pada orang tertentu.[5]
            Bayi tidak hanya mengekspresikan emosi, namun juga membaca tanda emosi dari orang lain. Referensi sosial adalah cara membaca petunjuk emosional dari orang lain sebagai referensi bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. Perkembangan dalam aspek referensi sosial ini membantu bayi menginterpretasikan situasi ambigu secara lebih akurat- misalnya ketika mereka berhadapan dengan orang asing- apakah mereka harus merasa takut atau tidak terhadap orang tersebut.
            Kemampuan melakukan referensi sosial ini akan berkembang dengan lebih baik pada tahun kedua. Di usia ini, mereka cenderung untuk “mengonfirmasi” ibu mereka sebelum mereka melakukan sesuatu; mereka melihat apakah ibu mereka terlihat senang, marah, atau takut.
              Selain itu, dalam kurun waktu satu tahun pertama, bayi mulai mengembangkan kemampuan untuk menahan atau mengurangi intensitas dan durasi reaksi emosional. Dari masa awal kehidupannya, bayi sudah bisa meletakkan jempol dalam mulut untuk menenangkan dirinya. Meskipun begitu, biasanya bayi tetap bergantung kepada pengasuhnya untuk menenangkan reaksi emosi yang dirasakannya, terutama di masa awal kehidupan, seperti dengan mengayun-ayunkan bayi ketika menidurkan, menyanyikan lagu nina bobo, membelai-belai, dan lain sebagainya. Para ahli perkembangan percaya bahwa akan sangat baik untuk menenangkan bayi sebelum keadaan emosinya menjadi terlalu intens, terguncang, dan tidak terkontrol.
            Pada periode berikutnya, ketika seorang bayi merasakan rangsangan emosi tertentu, mereka kadang-kadang mengalihkan atau memecah atensi mereka untuk mengurangi rangsangan tersebut. Pada usia 2 tahun, seorang balita sudah mampu menggunakan bahasa untuk menjelaskan keadaan emosi dan konteks situasi yang mengganggu mereka. Seorang balita mungkin akan berkata “Takut. Anjing galak”. Jenis komunikasi seperti ini akan membantu pengasuh dalam membantu anak mengatur emosi mereka.
                        Konteks juga dapat mempengaruhi pengaturan emosi. Bayi akan sangat mudah terpengaruh oleh kelelahan, rasa lapar, waktu, orang-orang yang ada di sekitar, dan juga lingkungan di mana mereka sedang berada. Bayi harus belajar untuk beradaptasi terhadap berbagai macam konteks yang memerlukan pengaturan emosi. Seiring dengan bertambahnya usia, bayi akan menghadapi tuntutan-tuntutan baru dan juga menghadapi perubahan ekspektasi dari orang tua. Sebagai contoh, jika seorang bayi berusia 6 bulan tiba-tiba menjerit di tengah restoran, orang tuanya akan menganggap hal ini wajar, tapi tidak jika anak yang menjerit itu sudah berusia 1½ tahun misalnya.

2.        Masa Kanak-Kanak Awal
Pada masa ini, emosi yang dilakukan adalah termasuk dalam emosi yang disadari. Ekspresi dari emosi-emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka.
                        Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering kali diasosiakan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu.
                        Rasa malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan serangan terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat anak tidak mampu berkata-kata. Tubuh anak yang mengalami rasa malu ini biasanya akan terlihat seperti “merengut” seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Rasa malu bukan merupakan hasi dari situasi tertentu tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu terhadap kejadian tertentu.
            Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan akan lebih menunjukkan perasaan malu dan bersalah jika dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan di antara gender ini sangat menarik karena biasanya anak perempuan adalah pihak yang lebih rentan terhadap internalisasi seperti kecemasan dan depresi, di mana salah satu ciri khasnya adalah perasaan malu dan kritik terhadap diri yang berlebihan.
Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Perasaan malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah mengecilkan tubuh mereka seperti ingin bersembunyi, sedangkan ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka.[6]
Rasa marah muncul ketika anak sedang bermain dengan teman sebayanya, lalu terjadi perebutan mainan oleh salah satu pihak, mungkin juga karena keinginannya tidak tercapai, ataupun karena ada serangan dari anak lain. Ekspresi yang biasa muncul adalah menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat, dan memukul.
Rasa takut dirasakan ketika ia mendengar cerita yang menyeramkan, melihat gambar, melihat TV, mendengarkan radio, maupun melihat orang yang sedang marah-marah. Ia biasanya langsung panik, lari, menghindar, bersembunyi, maupun  menangis.
Rasa cemburu biasa diungkapkan dengan pura-pura sakit, nakal, maupun regresi (melakukan hal-hal yang dulu pernah dilakukan dan menarik perhatian, misalnya ngompol lagi setelah lama tidak ngompol). Penyebab umumnya adalah karena perhatian orang tua beralih kepada orang lain, misalnya adiknya yang baru lahir.
Anak biasa mengekspresikan Rasa ingin tahunya dengan banyak bertanya. Ia ingin mengetahui hal-hal yang baru, juga ingin mengetahui tubuhnya sendiri.
Iri hati juga bisa mereka rasakan. Jika emosi ini sedang muncul, maka ia akan mengeluh tentang hal-hal yang dimiliki, mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang orang lain, ataupun bahkan mengambil benda yang ingin dimilikinya. Ia sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain.
Gembira dapat mereka rasakan tatkala ia sedang sehat, mendengar bunyi yang tiba-tiba, ataupun berhasil melakukan tugas yang dianggapnya sulit. Ungkapannya adalah dengan tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, memeluk benda atau orang yang membutanya bahagia.
Ia juga bisa merasakan Sedih tatkala kehilangan sesuatu yang disayanginya. Ia akan menangis dan kehilangan gairah mengerjakan kegiatan sehari-hari.
Ia mulai belajar untuk mencintai sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mengungkapkan Kasih sayangnya dengan memeluk, menepuk, mencium obyek yang disayangi dengan kasih sayang, mengajak bicara dengan mesra, mengelus-elus binatang yang disayangi dan menggendongnya.[7]
                        Perkembangan emosi evaluatif yang disadari ini sangat dipengaruhi oleh respons orang tua terhadap perilaku anak. Sebagai contoh, seorang anak akan mengalami perasaan bersalah ketika orang tua berkata “Kamu seharusnya tidak boleh menggigit kakakmu”.
                        Beberapa di antara perubahan penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya kemampuan untuk membicarakan emosi diri dan orang lain dan peningkatan pemahaman tentang emosi. Mereka juga mulai belajar mengenai penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan yang dialami.
                        Ketika menginjak usia 4-5 tahun, anak-anak mulai menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merefleksi emosi. Mereka juga mulai memahami bahwa mereka harus mengatur emosi mereka untuk memenuhi standar sosial.
                        Orang tua, guru, dan orang dewasa lain di sekitarnya dapat membantu anak-anak memahami dan mengontrol emosi mereka. Para orang dewasa dapat berbicara dengan anak-anak untuk membantu mereka mengatasi stres, kesedihan, kemarahan, atau perasaan bersalah. Belajar mengekspresikan emosi tertentu dan menutupi emosi yang lain, adalah pelajaran yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari anak-anak. Seorang anak yang marah jika harus menunggu sesuatu atau tertawa ketika melihat anak lain menangis karena terjatuh, dapat diajarkan untuk memahami perasaan anak lain. Seorang anak yang terlalu menonjolkan kemenangannya dalam sesuatu hal dapat diingatkan bahwa rasanya sangat menyedihkan bagi pihak yang kalah.
                        Kemampuan mengatur emosi adalah keterampilan penting yang akan membantu hubungan anak dengan teman sebaya. Anak-anak yang moody dan  memiliki emosi negatif akan mengalami penolakan yang lebih besar dari teman sebaya mereka. Sedangkan anak-anak dengan emosi positif akan menjadi populer karena mereka mampu meningkatkan kompetensi sosial mereka serta merespon dengan cara yang lebih kompeten secara sosial ketika mereka diprovokasi secara emosional oleh teman sebaya, dengan cara mengatur emosi mereka.
                        Berikut adalah rangkuman karakteristik komunikasi dan pemahaman anak kecil mengenai emosi:      
Rentang Usia
Deskripsi
2-4 tahun
Peningkatan pesat kosa kata mengenai emosi
Penamaan emosi diri dan orang lain dengan tepat dan juga dapat membicarakan emosi yang dialami pada masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Dapat membicarakan penyebab dan konsekuensi dari emosi tertentu, dan juga mengidentifikasi hubungan emosi dengan situasi tertentu.
Dapat menggunakan bahasa emosi pada permainan pura-pura.
5-10 tahun
Menunjukkan peningkatan kemampuan untuk melakukan refleksi secara verbal tentang hubungan emosi dengan situasi tertentu.
Memahami bahwa sebuah kejadian yang sama dapat menyebabkan perasaan yang berbeda pada orang yang berbeda, dan kadang-kadang perasaan dapat bertahan lama setelah kejadian yang menyebabkannya.
Menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengatur dan mengontrol emosi sesuai dengan standar sosial.[8]

3.        Masa kanak-kanak madya dan kanak-kanak akhir
Berikut ini adalah beberapa perubahan yang penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak madya dan akhir. (Kuebli, 1994; Wintre & Vallance, 1994).
·           Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu (Kuebli, 1994). Emosi-emosi ini menjadi lebih terinternalisasi (self-generated) dan terintregasi dengan tanggung jawab personal.
·         Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu.
·         Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif.
·         Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan tertentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi tertentu.
Secara singkat, “ketika mencapai masa kanak-kanak madya, seorang anak menjadi lebih reflektif dan strategis dalam kehidupan emosional mereka...tetapi anak dalam usia ini juga memiliki kemampuan menunjukkan masa sebelumnya”. (Thompson & Goodvin, 2005. Hal 401-402)
4.        Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa yang sulit secara emosional. Tidak selamanya seorang remaja berada dalam situasi “badai dan stress”, tetapi fluktuasi emosi dari tinggi ke rendah memang meningkat pada masa remaja awal. (Rosenblum & Lewis, 2003). Seorang remaja bisa saja merasa di puncak dunia pada suatu saat namun merasa tidak berharga sama sekali pada waktu berikutnya. Seorang remaja akan sering merajuk tidak tahu bagaimana mengekspresikan emosi mereka. Hanya dengan sedikit atau bahkan tanpa provokasi sama sekali, mereka bisa saja meledak di depan orang tua atau  saudara-saudara mereka.
Reed Larson dan Maryse Richards (1994) menemukan bahwa remaja melaporkan emosi yang lebih ekstrem dan lebih berubah-ubah dibandingkan orang tua mereka. Sebagai contoh, seorang remaja lima kali lebih mungkin untuk menyatakan dirinya “sangat bahagia” dibandingkan dengan orang tua mereka. Penemuan ini mendukung pandangan yang menyatakan remaja adalah orang yang sangat moody dan mudah berubah-ubah emosinya. (Rosenblum & Lewis, 2003)
Sangat penting bagi orang dewasa untuk menyadari bahwa moody adalah aspek normal dari masa remaja awal, dan kebanyakan remaja akan melalui masa ini untuk kemudian berkembang menjadi orang dewasa yang berkompeten. Meskipun begitu, untuk remaja tertentu emosi-emosi yang dialami pada masa ini dapat menyebabkan masalah yang serius, terutama remaja perempuan yang lebih rentan terhadap depresi. (Nolen-Hoeksema, 2004)
Adanya fluktusi emosi pada masa remaja awal mungkin berhubungan denga perubahan hormonal pada masa ini. Mood akan menjadi lebih tidak ekstrem seiring dengan beralihnya remaja menjadi orang dewasa, dan penurunan ini mungkin saja berhubungan dengan adanya adaptasi terhadap kadar hormon yang ada dalam tubuh. Meskipun begitu, kebanyakan peneliti menyimpulkan bahwa hormon hanya memiliki sedikit peranan kecil. Biasanya faktor ini beasosiasi dengan faktor-faktor lain seperti stres, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial. (Rosenblum & Lewis, 2003)[9]
C.    Teori Psikososial Erikson
Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
·                      Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
·                      Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
·                      Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
·                      Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
·     Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
·                      Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
·                      Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
·                      Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
·                      Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
· Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
· Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
· Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
· Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
· Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
· Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
· Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
· Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
· Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
· Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat denganpengalaman-pengalaman baru.
· Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
· Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnyarasa rendah diriperasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
· Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
· Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
· Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
· Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
· Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
· Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
· Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
· Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
· Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
· Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
· Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
· Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
· Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
· Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
· Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
· Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
· Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
· Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
· Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
· Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
· Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
· Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
· Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
· Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

D.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sosio-Emosional.
Dalam perkembangan sosio-emosional anak, tentu ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhinya. Ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional anak yaitu:
1.         Perlakuan dan Cara Pengasuhan Orang Tua
Secara garis besar ada tiga tipe gaya pengasuhan orang tua yakni otoriter, permisif, dan otoritatif.
Tipe
Perilaku Orang Tua
Karakteristik Anak
Otoriter
Kontrol yang ketat dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak, sedikit dialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta kurang hangat dan kurang terjalin secara emosional
Menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain.
Permisif
Tidak mengontrol, tidak menuntut, sedikit menerapkan hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat dan menerima
Kurang dalam harga diri, kendali diri, dan kecenderungan untuk bereksplorasi
Otoritatif
Mengontrol, menuntut, hangat, reseptif, rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta menghargai disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan
Mandiri, bertanggung jawab secara sosial, memiliki kendali diri, bersifat eksplloratif, dan percaya diri
2.         . Kesesuaian antara bayi dan pengasuh
Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga ada penyesuain diri antar masing-masing. Jika terjadi ketidakcocokan antara pengasuh dan anak maka akan berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi, dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa menangkap respon apa yang sang anak inginkan, agar terjadi jalinan kasih sayang antara mereka, dan tidak menimbulkan rasa benci
3.         Temperamen bayi
Temperamen bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang pengasuh agar bisa terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada tiga gaya perilaku bayi yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit dan bayi yang lamban. Ciri bayi yang mudah adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan mau mendekati objek atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, tidak senang terhadap perubahan situasi, sering menangis, menempakkan perasaan negative. Sedangkan bayi yang lamban adalah bayi yang cenderung kurang adaptif, menarik diri, kurang aktif dan intensitas respon kurang.
4.         Perlakuan guru di sekolah
Apa yang guru perbuat di sekolah akan berpengaruh terhadap anak didiknya. Perlakuan guru terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak. Pengaruh guru tidak hanya pada aspek kognitif anak, tetapi juga segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan guru di depan anak didiknya, karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi pengalaman-pengalaman anak.


E.       Masalah –Masalah dalam Perkembangan Sosio-Emosional serta Solusinya.
Kadang-kadang emosi tertentu dapat menimbulkan masalah besar bagi anak-anak. Kita akan berfokus kepada 2 masalah depresi dan bunuh diri. Kita juga akan menelusuri stres yang ada pada kehidupan anak-anak dan cara-cara agar mereka dapat mengatasinya dengan efektif.
1.    Depresi
Depresi adalah gangguan mood di mana seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat. memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat bosan. Individu merasa selalu tidak enak badan, gampang kehilangan stamina, selera makan yang buruk, tidak bersemangat, dan tidak memiliki motivasi.
a.         Depresi pada Masa Kanak-kanak
Pada masa kanak-kanak perilaku yang berhubungan dengan depresi sering kali lebih luas jika dibandirigkan dengan pada orang dewasa, hal mi rnenyebabkan diagnosis menjadi lebih sulit (Weiner, 1980). Banyak dari anak yang depresi menunjukkan agresi, kecemasan. prestasi yang buruk di sekolah, perilaku antisosial, dan juga hubungan yang buruk dengan teman sebaya.
Apakah yang menyebabkan timbulnya depresi pada masa kanak-kanak? Ada beberapa sebab yang dianggap menimbulkan hal ini: Biologis, kognitif dan lingkungan. Dan berbagai pandangan mengenai hal ini ada tiga pandangan yang mendapat perhatian, yaitu teori perkembangan Bowlby, teori kognitif Beck, dan teori learned helplessness dari Seligman.
John Bowlby (1969. 1989) menyatakan bahwa attachment yang insecure. kurangnya cinta kasih dan afeksi dalam pengasuhan anak, atau kehilangan orang tua pada masa kanak-kanak mengakibatkan anak mengembangkan skema kognitif yang negatif. Skema mi akan terus dibawa dan mempengaruhi bagaimana pengalaman yang akan datang akan diinterpretasi. Ketika pada pengalaman yang akan datang anak juga mengalami kehilangan tertentu. anak akan menginterpretasikan kehilangan ini sebagai kegagalan dalam membina hubungan positif. dan biasanya hal mi akan menyulut timbulnya depresi.
Dalam pandangan kognitif Aaron Beck (1973), individu akan depresi jika pada masa awal perkembangannya mereka membentuk skema kognitif yang ditandai dengan devaluasi diri dan tidak percaya diri mengenai masa depan. Mereka biasanya memiliki pemikiran-pemikiran yang negatif, dan pemikiran negatif ini akan meningkatkan pengalaman negatif dan individu tersebut. Anak yang depresi akan menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Dalam pandangan Beck. depresi pada anak dilihat sebagai hasil perkembangan dari dua kecenderungan kognitif: (1) Anak terlalu memperhatikan petunjuk negatif di lingkungan, dan (2) mengidentifikasi diri mereka sebagai sumber dan kejadian negatif (Quiggle dkk. 1992).
Teori Martin Seligman mengenai depresi adalah learned helplessness. Yaitu ketika seorang individu mengalami pengalaman negatif dan mereka tidak memiliki kontrol rnengenai hal tersebut seperti ketika dihadapkan dengan stres dan rasa kesakitan yang panjang mereka akan lebih mungkin untuk mengalarni depresi. (Seligman. 1975). Dalam pandangan mi. depresi akan terjadi setelah suatu peristiwa negatif di mana individu menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi yang menyalahkan diri sendiri (Abramson, Metaisky, & Alloy, 1989). Mereka menyalahkan diri sendiri karena menyebabkan peristiwa tersebut. Dengan model penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspektasi bahwa tidak ada perilaku yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dan peristiwa yang sama di masa yang akan datang, yang akan menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan, sikap pasif, dan depresi.
b.    Depresi pada Orang tua
Depresi biasanya dianggap sebagai masalah individual. Tetapi peneliti menemukan adanya saling keterikatan antara orang yang depresi dan konteks sosial mereka. Saling ketergantungan ini sangat penting terutama dalam kasus Depresi pada orang tua dan bagaimana penyesuaian diri anak (Downey & Coyne, 990). Depresi adalah gangguan dengan prevalensi yang sangat tinggi-sedemikian tingginya sehingga sering disebut flunya gangguan mental. Di antara wanita dalam usia subur, depresi timbul dengan tingkat sekitar 8 persen, dan 12 persen pada wanita yang baru saja melahirkan. Dan hal ini bisa kita lihat ada banyak anak-anak yang memiliki orang tua yang depresi.

Efek apa yang dapat ditimbulkan dari hamil Ibu yang depresi menunjukkan tingkat perilaku yang lebih rendah dan menunjukkan afeksi yang lebih terbatas; mereka melakukan strategi kontrol yang mereka anggap tidak menyusahkan mereka, bahkan kadang-kadang bersikap negatif dan mengancam terhadap bayi mereka. Penelitian pada anak-anak dengan orang tua yang mengalami depresi memperlihatkan bahwa depresi pada orang tua sangat berhubungan dengan masalah penvesuaian diri dari gangguan psikologis, terutama depresi, pada anak mereka (Radke-Yarrow dkk, 1992). Meskipun begitu, biasanya permasalahan perkawinan mendahului, menyebabkan, atau terjadi bersamaan dengan depresi pada orang tua. dalam kasus ini, permasalahan perkawinan mungkin saja menjadi faktor kunci yang menimbulkan masalah penyesuaian diri pada anak-anak, alih-alih depresi orang tua mereka. (Gelfiand. Teti, & Fox, 1992).
Ketika orang tua mengalami depresi, sangat penting bagi anak untuk mengembangkan persahabatan yang kuat di luar rumah atau sukses di sekolah dan di lingkungan pergaulan (Berdslee, 2002). Anak juga bisa mengambil manfaat zdari pemahamaan terhadap situasi di keluarganya dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan refleksi diri.
c.       Depresi pada Remaja
Depresi lebih mungkin terjadi pada masa remaja dibandirigkan pada masa kanak-kanak, dan remaja putri memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. (Blatt, 2004; Graber. 2004; Nolen-Hoeksema, 2004, 2007). Beberapa penyebab dan perbedaan antar jenis kelamin ini adalah:
·           Remaja putri cenderung untuk tenggelam dalam depresi mereka sehingga menguatkan depresi tersebut.
·           Self-image dan remaja putri, terutama body imagenya, cenderung lebih negatif dibandirigkan dengan remaja putra.
·           Puber terjadi lebih cepat pada remaja putri jika dibandirigkan dengan remaja putra, sehingga remaja putri mengalami berbagai perubahan penga1aman hidup yang sangat banyak pada masa-masa SMP, yang dapat meningkatkan depresi.
Beberapa faktor dalam keluarga juga rnenyebabkan remaja riskan untuk mengalami depresi (Blatt. 2004; Graber, 2004, Holmes & Holmes, 2005). beberapa faktor ini seperti orang tua yang juga mengalami depresi, orangtua yang tidak memberikan dukungan emosional, orang tua yang memiliki konflik perkawinan yang tinggi. dan juga orang tua yang memiliki masalah keuangan.
Hubungan teman sebaya yang buruk juga berhubungan dengan depresi pada remaja. Lebih jelasnya, kecenderungan untuk mengalami depresi pada remaja berhubungan dengan ketiadaan hubungan yang erat dengan sahabat, jarangnya berhubungan dengan teman, dan penolakan dan teman sebaya.
Pengalaman dengan perubahan-perubahan yang terlalu menantang dan sulit juga berhubungan dengan simptom depresi pada remaja. (Compas, 2004; Compas & Grant 1993, Mazza, 2005). Perceraian orang tua merupakan salah satu contoh pengalaman tersebut. Hal mi meningkatkan simptom depresi pada remaja. Selain itu remaja yang mengalami puber tepat pada saat mereka baru lulus SD dan masuk ke SMP mengalami depresi yang lebih tinggi jika dibandirigkan dengan remaja yang baru mengalami puber setelah masuk SMP.
2.    Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri sangat jarang terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi meningkat sangat tajam pada masa rernaja awal. Bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga terbesar pada remaja yang berusia antar 13 sampai 19 tahun di Amerika. (National Center for Health Statistics, 2004). Meskipun kasus bunuh diri pada remaja meningkat dalam satu dekade terakhir, hal ini masih merupakan kasus yang relatif jarang terjadi. Pada tahun 2002. 1 dari 10.000 individu berusia 15-24 tahun melakukan bunuh diri (National Center for Health Statistics, 2004).
Jumlah yang lebih banyak ditemukan terkait remaja yang pernah memikirkan untuk bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri (Borowsky, Ireland, & Resnick. 2001: Cox, Enns, & Clara. 2004; Mazza, 2005). Dalam sebuah penelitian nasional 17 persen dari pelajar SMA di Amenika menyatakan bahwa mereka pernah serius berpikir untuk melakukan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir (National Center for Health Statistics, 2004). Kurang dan 3 persen melaporkan benar-benar melakukan percobaan bunuh diri yang rnengakibatkan harus dirawat oleb dokter akibat cedera. keracunan atau over-dosis obat.
Remaja yang seperti apakah yang lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri? Semakin dekat hubungan genetis seseorang dengan orang yang melakukan bunuh diri, semakin mungkin orang tersebut untuk juga melakukan bunuh diri. (Cerel & Roberts, 2005). Remaja putri lebih mungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandirig remaja putra, tetapi remaja putra lebih mungkin untuk berhasil dalam bunuh diri tersebut. Remaja pria biasanya menggunakan cara-cara yang lebih mematikan seperti menggunakan senjata api, sementara remaja putri lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri yang tidak langsung mematikan seperti dengan memotong urat nadi atau menelan pil tidur berlebihan. Penelitian terakhir menunjukkan baik pada remaja putna maupun putri, penyalahgunaan narkoba berhubungan dengan meningkatnya pemikinan untuk bunuh diri dan juga percobaan bunuh diri (Hailfors dkk, 2004).
Remaja pada populasi seksual minoritas (homo, lesbian, dan biseksual) sangat rentan terhadap bunuh diri in laporan awal menunjukkan bahwa remaja ini 3 sampai 7 kali lebih rnungkin untuk melakukan percobaan bunuh diri jika dibandirigkan dengan remaja heteroseksual. (Ferguson, Harwood, & Beautrais, 199; Herrill dkk, 1999). Tetapi penelitian Rich Savin-Williarns (2001) rnenunjukkan bahwa remaja gay dan lesbian hanya sedikit lebih tinggi jika dibandirigkan dengan remaja heteroseksual (Savin-Williams, 2001). Dia berargumen bahwa penelitian sebelumnya terlalu membesar-besarkan tingkat bunuh diri pada remaja homo dan lesbian karena hanya meneliti remaja yang mernang mengalami masalah dan hanya melakukan survey pada remaja yang mengikuti support group atau datang ke shelter untuk remaja Homoseksual. Penelitian terakhir pada 12.000 remaja, menunjukkan 15 persen dan remaja homoseksual menyatakan mereka pernah melakukan percobaan bunuh diri, sedangkan pada remaja heteroseksual 7 persen (Russell & Joyner, 2001).
Ada beberapa karaktenisitik hubungan sosial pada remaja yang dianggap berhubungan dengan perilaku bunuh diri atau percobaan bunuh diri (Holmes & Holmes, 2005; Mazza, 2005). Remaja tersebut mungkin saja memiliki sejarah ketidak stabilan dan .ketidakbahagiaan dalam keluarga. Sama seperti kekurangan afeksi dan dukungan emosional, tingkat kontrol yang terlalu tinggi dan tekanan berprestasi yang terlalu berlebihan dan orang tua pada masa kanak-kanak. menjadi hal-hal menyebabkan depresi pada remaja. kombinasi dan hal ini juga muncul sebagai faktor yang menyebabkan percobaan bunuh diri. Biasanya remaja ini juga kekurangan hubungan pertemanan yang suportif.
Bagaimanakah profil psikologis dan remaja dengan kecenderungan bunuh diri remaja dengan kecenderungan bunuh diri biasanya memiliki simptom depresi American Academy of Pediatrics, 2000: Gadpaille, 1996). Meskipun tidak semua remaja yang depresi melakukan percobaan bunuh diri, depresi tetap menjadi faktor yang dianggap sebagai pencetus bunuh diri pada remaja. Perasaan tidak adanya adanya harapan. self-esteem yang rendah, serta self -blame yang tinggi juga dianggap berhuhungan dengan perilaku bunuh diri pada remaja (Hanter & Marold, 1992; Harter & Whitesell, 2001; Werth, 2004).
Perhatian yang muncul akhir-akhir ini mengenai perilaku bunuh diri pada remaja adalah keterkaitan antara obat antidepresan dan pemikiran untuk melakukan bunuh diri (Lock dkk, 2005). Pada bulan Oktober 2004, FDA mengeluarkan laporan berdasarkan tinjauan dan hasil penelitian. Laporan ini menyimpulkan bahwa 2 sampai 3 persen dari remaja yang menggunakan antidepresan mengalami peningkatan dalam pikiran untuk melakukan bunuh diri. Diperkirakan bahwa antidepresan telah diresepkan kepada sekitar 1 juta anak-anak dan remaja di Amerika.
3.    Stres dan Coping
Stres adalah respons individu terhadap situasi atau peristiwa (disebut stresor) yang mengancam dan melebihi kemampuan coping mereka. Faktor kognitif, kejadian sehari-hari, dan juga faktor sosiokultural merupakan hal-hal yang berhubungan dengan stres pada anak-anak.
Faktor Kognitif kebanyakan orang berfikir bahwa stres hanya terjadi ketika ada hal-hal yang menuntut diri kita seperti ketika akan ujian, terlibat kecelakaan atau ketika kehilangan seorang teman. Meskipun beberapa hal ini adalah sumber stres yang umum. tidak semua orang mempersepsikan kejadian yang sarna sebagai hal yang membuat stres, atau merasakan stres dengan cara yang sama (Hollon, 2006). Sebagai contoh, seorang anak dapat saja menganggap ujian sebagai hal yang membuat stres, sementara anak lain menganggap hal ini sebagai tantangan jadi dalam tingkat tertentu, apa yang dianggap sebagai sumber stres bagi anak tergantung dari bagaimana kognitif mereka menilai dan menginterpretasikan kejadi tersebut (Sanders & WoIls, 2005). Pandangan ini bisa dilihat dengan jelas pada teori dari peneliti masalah stres Richard Lazarus (1996). Penilaian kognitif (cognitis appraisal) adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menjelaskan interpretasi anak terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka yang dianggap berbaha mengancam atau menantang. dan pemahaman mereka apakah mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi kejadian tersebut. Dalam pandang Lazarus, sebuah kejadian dinilai dalam dua Iangkah:
·           Penilaian primer (primary appraisal). individu menginterpretasikan apakah sebuah kejadian melibatkan bahaya atau kehilangan yang sudah terjadi, ancaman bahaya di masa yang akan datang, atau sebuah tantangan yang harus diatasi. Sebagai contoh, seorang anak gagal dalam ujian di sekolahnya kemarin, dia dapat mengevaluasi kejadian itu dengan cara bahwa ada kerusakan yang sudah terjadi, lalu memikirkan kemungkinan bahwa gurunya akan menganggap dirinya kurang baik dalam pelajaran tersebut di memberikan nilai yang rendah pada akhir semester, atau mungkin membuat sebuah komitmen bahwa dia tidak akan gagal lagi kelak.
·           Setelah anak menilai secara kognitif sebuah kejadian mengenai kerusakan. bahaya, dan juga tantangan yang ditimbulkannya, menurut Lazarus mereka akan melakukan penilaian sekunder. Dalam penilaian sekunder ini (secondary appraisal), individu mengevaluasi sumber daya yang dimilikin dan menentukan apakah mereka bisa mengatasi kejadian tersebut dengan efektif atau tidak. Penilaian mi disebut penilaian sekunder karena terjadi setelah penilaian primer dan tergantung dan penilaian sebuah kejadian apakah dianggap sebagai sesuatu yang merusak, mengancam, atau menantang. Coping melibatkan berbagi macam strategi pengaturan potensi, skill, dan kemampuan untuk mengatur kejadian yang menyebabkan stres. Dalam contoh kegagalan dalam ujian tadi, seorang anak yang menyadarii bahwa orang tuanya akan memberikan les padanya di mata pelajaran tersebut akan lebih percaya diri dalam melakukan coping terhadap stres dibandingkan dengan jika orang tuanya tidak memberikan dukungan apapun.
Menurut Lazarus pengalaman anak mengenai stres merupakan perimbangan antara penilaian primer dan sekunder. Ketika bahaya dan ancaman tinggi, sedang tantangan dan sumber daya rendah. maka tingkat stres biasanya akan tinggi. Sedang jika ancaman dan bahaya rendah, sedangkan tantangan dan sumber daya yang dimiliki dianggap tinggi, maka biasanya tingkat stresnya sedang atau rendah.
Martin Seligman, (1995) juga menyatakan bahwa faktor kognitif memegang peranan penting dalam coping terhadap stres. Dia membedakan anak menjadi anak yang optimistik dan anak yang pesimistik. Jika dibandingkan dengan anak yang optimis, anak yang pesimis lebih mudah untuk mengalami depresi, merasa putus asa, berprestasi buruk di sekolah, dan memiliki kesehatan yang lebih buruk. Anak ang pesimis percaya bahwa ada alasan permanen kenapa hal-hal yang buruk selalu terjadi pada mereka. Anak yang optimis menganggap bahwa pengalaman buruk adalah sesuatu yang bersifat sementara. Ketika harus menyalahkan diri, anak yang optimis menyalahkan perilaku mereka. sesuatu yang bisa diubah dan dipelajari, sedangkan anak yang pesimis lebih mungkin untuk menyatakan bahwa pengalaman untuk itu merupakan hasil dan kualitas-kualitas dalarn diri mereka.
Seligman percaya bahwa anak yang pesimis dapat diubah menjadi anak yang optimis dengan orang dewasa sebagai model. Orang dewasa tersebut menunjukkan cara-cara optimis bagaimana mengatasi permasalahan mereka. Selain itu, ketika seseorang anak pesimis merasa bimbang, orang tua harus memberikan penjelasan yang akan memacu anak untuk berusaha lebih jauh. Seligman telah mengembangkan program untuk membetulkan cara pandang yang salah mengenai masalah yang dihadapi dan bagaimana mengajarkan cara-cara realistik untuk menginterpretasi kemunduran atau kegagalan. Di dalam program mi juga termasuk permainan peran diskusi. Dalam penelitian Seligman, program mi sangat efektif dalam mengubah orang yang pesimis menjadi orang yang berpikiran optimis.
Kejadian dan Masalah Sehari-hari Anak-anak mengalami jangkauan stresor yang sangat luas, mulai dari yang biasa sampai yang sangat parah. Stresor yang biasa ini adalah pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari anak-anak, dan karena hal ini adalah hal yang umum dijumpai maka biasanya sudah tersedia pola coping , yang sangat baik. Sebagai contoh, kebanyakan orang tua menyadari bahwa ada kecemburuan yang terjadi antar saudara, ketika seorang anak berhasil dalam sesuatu, maka saudaranya akan merasa cemburu. Mereka tahu bagaimana kecemburuan ini terjadi dan tahu bagaimana membantu anak untuk mengatasinya. Stres yang lebih parah terjadi ketika seorang anak harus berpisah dengan orang tuanya karena kematian. sakit keras, atau ketika diadopsi oleh orang lain. Pola coping yang sehat masaiah yang seperti mi belum tersedia dengan baik. Bahkan ada pengalam lebih parah seperti pada anak-anak yang ditelantarkan atau mengalami tindakan kekerasan selama bertahun-tahun (Pfeffer. 1996). Contoh stress yang juga sangat parah adalah pada korban inses, dan untuk kejadian yang sangat parah ini biasanya tidak ada panduan cara coping yang efektif.
Kejadian sehari-hari ataupun kejadian luar biasa yang dialami bisa merupakan sumber stress (D’Ange1o & Wienbicki, 2003). Masalah sehari-hari yang dialami anak-anak dalam keluarga bermasalah atau kemiskinan yang dialami dalam keluarga dapat terakumulasi menjadi kehidupan yang menimbulkan stres, dan pada akhirnya menyebabkan ganguan psikologis atau penyakit fisik (Pillow, Zautra, & Sandier,1996).
Faktor Sosiokultural salah satu factor Sosiokultural yang berhubungan dengan stress adalah stress yang diakibatkan akulturasi dan juga kemiskinan. Stress disebabakan proses akulturasi adalah konsekuensi negative dari perubahan budaya  yang disebabkan adanya persinggungan dua budaya yang berbeda yang berlangsung lama. Anak-anak imigran dapat saja mendapati bahwa teman sekolahnya tidak ada yang rnengetahui permainan masa kecil mereka, mereka diolok-olok karena aksen bicara mereka, atau cara berpakaian mereka yang berbeda. Seorang remaja putri yang tumbuh di Amerika tetapi kedua orang tuanya adalah imigran dan sebuah kebudayaan yang tradisional dan konservatif dapat saja mengalami kebimbangan apakah harus mengikuti cara berpakaian sesuai dengan keinginan orang tua mereka atau mengikuti gaya busana teman sebaya mereka. Ketika keluarga Afro-Amerika atau Latin pindah ke lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah orang kulit putih. anak-anak mereka dapat menjadi korban isolasi atau menjadi korban kekerasan.
Kemiskinan menyebabkan stres yang cukup besar bagi seorang anak dan juga keluarga mereka (McLoyd. 2000). Jika dibandingkan dengan anak lain, anak dan keluarga yang miskin lebih mungkin mengalami kejadian yang mengancam dan tidak bisa dikontrol. Tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang berbahaya, tugas-tugas tambahan yang memberatkan, dan juga ketidakpastian ekonomi adalah stresor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum miskin(Brooks-Gunn, Leventhal, & Duncan, 2000). Kemiskinan biasanya dialami oleh anak dan etnis minonitas dan juga keluarga mereka. Banyak orang yang miskin hanya merasakan kerniskinan tersebut selama satu atau dua tahun. Meskipun begitu orang-orang Afro Amerika dan juga keluarga dengan kepala keluarga wanita lebih riskan untuk mengalami kemiskinan yang berlanjut.
Coping terhadap stres Belajar melakukan coping terhadap stres adalah aspek penting dan kehidupan emosional anak-anak. (Bridges, 2003; Folkman & Moskowit 2004). Dalam diskusi kita mengenai stres. kita sudah menjelaskan beberapa strategi yang dapat dipakai oleh anak-anak untuk coping terhadap stres. Di antaranya adala ide dari Lazarus mengenai penilaian kognitif dan penilaian tantangan, serta pandang; Seligman yang menyatakan anak yang optimis lebih mungkin untuk melakuk coping secara efektif dibandingkan anak yang pesimis. Para peneliti percaya bahwa akan lebih menguntungkan bagi anak jika mereka melakukan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) terhadap stress dibandingkan dengan lari atau menghindari stres tersebut (Bridges, 2003: Folkman & Moskowitz, 2004; Lazarus & folkman, 1984). Sebagai contoh. seorang anak yang merespons nilai jelek dalam ulangan dengan rnenambah jam belajar mereka dan mencari teknik belajar yang lebih efektif akan Iebih mungkin melakukan coping yang efektif jika dibandingkan dengan anak yang berpura-pura sakit ketika ulangan berikutnya tiba.
Sangat penting bagi pengasuh untuk membantu anak melakukan coping secara efektif. Selain itu, juga perlu mendorong anak untuk aktif dan rnemilih strategi pemecahan masalah dalam menghadapi stres. Dengan cara ini pengasuh dapat (1) menghilangkan setidaknya satu stresor dari anak dan (2) mengajarkan anak berbagai strategi coping yang baik.
Ketika anak menghadapi beberapa stresor dalam waktu yang bersamaan, biasanya stres yang dihasilkan bukan merupakan akumulasi dan stres tersebut, tetapi adalah perkalian dan stresor-stresor tersebut (Rutter, 1979). Satu stresor akan melipat  gandakan efek dan stresor yang lain. Dengan hanya menghilangkan satu elemen stresor. dapat membantu anak menjadi merasa lebih kuat dan kompeten. sebagai contoh. Lisa, selalu datang ke sekolah dalam keadaan lapar. Gurunya membantu Lisa dengan menyediakan sarapan hangat yang dapat ia nikmati ketika ke sekolah, hal ini akan meningkatkan konsentrasinya ketika mengikuti pelajaran. Hal ini juga mampu membantu Lisa menekan kecemasan yang dialami orang tuanya akan bercerai.
Anak yang menguasai beberapa teknik coping akan lebih mungkin untuk beradaptasi dan berfungsi dengan kompeten ketika dihadapkan dengan stres. mempelajari teknik coping yang baru, anak dapat mencegah dirinya merasa inkompeten dan sangat dan juga dapat meningkatkan kepercaaan diri mereka. Sebagai contoh KIM sangat  lega ketika seorang psikolog klinis membantu dia mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dia temui ketika menjenguk saudara perempuannya yang sedang  dirawat di rumah sakit. Kim sangat takut pada rumah sakit dan usaha yang dia lakukan dalarn melakukan coping terhadap ketakutan ini adalah menarik diri dan menghindar. menyatakan dia tidak ingin bertemu dengan perempuannya, meskipun pada kenyataann dia sangat rindu pada saudara perempuannya tersebut.
Anak-anak cenderung untuk mengaplikasikan strategi coping mereka ke semua situasi sang menyebabkan stres. Orang dewasa dapat membantu hal ini dengan memberikan contoh bagaimana menggunakan strategi coping ini pada situasi yang sesuai sehingga menguntungkan bagi mereka. Sebagai contoh. Jenifer mengunakan strategi coping dengan melakukan altruisme ketika ibunya dirawat dirumah sakit karena kanker. Dia melakukan coping terhadap perpisahan dengan dengan mengambil peran ibu untuk ayahnya. adik laki-lakinya dan ke1asnya. Tentu saja teman sekelasnya menjadi terganggu akan hal rnenggodanya. Guru Jenifer menyadari masalah mi dan membantu cekspresikan altruismenya dengan menugaskan dia menjadi pengasuh ian di sekolah dan juga bertanggung jawab untLik kebersihan di kelas. epada teman-temannya berhenti, sehingga teman-temannya tidak lagi anak benanjak dewasa, mereka bisa menilai situasi penyebab stress urat dan dapat menentukan seberapa besar kontrol yang menekan truasi tersebut. Anak yang lebih tua akan memiliki altennatif coping tenhadap kondisi penyebab stres dan lebih banyak menggunakan nitif (Compas, 2004; Compas, dkk, 2001, Saanni, 1999). Sebagai lebih tua akan lebih baik dibandingkan anak yang lebih muda dalam mengalihkan pernikiran mereka ecara sadar kepada hal-hal lebih tidak membuat stres. Anak sang lebih tua akan lebih baik da melakukan refrarning (indi\ idu mengubah persepsi terhadap situasi y rnenyebabkan stres). Sebagai contoh. anak ang lebih muda mungkin a sangat kecewa ketika gurunya tidak men apa “Selamat pagi” ketika mer datang ke sekolah. Anak yang lebih tua akan dapat melakukan refram terhadap situasi mi dan berfikir “Mungkin ibu guru sedang sibuk den urusan lain dan lupa menyapa saya”.
Pada usia 10 tahun, umur anak sudah dapat mengalihkan pikiran mereka dan melakukan reframing untuk melakukan coping terhadap str (Saarni, 1999). Meskipun begitu, jika keluarga mereka bukan merupak keluarga yang suportif dan memiliki masalah yang banyak atau traur tertentu, bisa saja menyebabkan anak menghadapi stres yang berlebih sehingga tidak bisa menggunakan strategi tersebut. Anak juga biasan akan gagal untuk mengunakan strategi coping yang mereka miliki jika dihadapkan pada kejadian traumatis yang luar biasa.[10]






















BAB III
PENUTUP

            Pekembang sosio-emosional bayi sangat di pengarui beberapa maca perubahan yang dimilikinya seperti perubahaan emososional bayi ketika dia sedang marah, menangis, tersenyum. Perubahan itu sangat berbeda-beda dan itu bisa kita lihat dengan mata indra kita.  Dan ada pula faktor sosio emosional bayi seperti halnya bagaimna cara pengasuhan orang tua,sebab pengasuhan ornag tua itu sangat mempengaruhi terhadap emosional bayi, dan ada lagi kecocokan pengasuh bayi,yang terakir yaitu temperamen bayi, semua itu sangat berkaitan dan saling melengkapi.
























DAFTAR PUSTAKA

Anonim. “Sosiologi”. Wikipedia (online),  (http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, diakses 20 November 2011)
Anonim. “Perkembangan Sosio Emosional Masa Bayi”. Blogspot (online), 2009 (http://www.absoft.info/kids-literacy/perkembangan-sosio-emosional-masa-bayi.html, diakses 20 November 2011)
Rumini, Sri dan Siti Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT: RINEKA CIPTA
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. 2007. Life Span Development. Jakarta: Erlangga







[1] Anonim, “Sosiologi”,  wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, diakses tanggal 20 November 2011.
[2] Niechan, “Bahasa Indonesia Alat Pemersatu Bangsa”,  Blogspot on linehttp://www.absoft.info/kids-literacy/perkembangan-sosio-emosional-masa-bayi.html, diakses tanggal 20 November 2011.
[3] John W. Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007),  9.

[4] ibid.,11-15
[5] Sri Rumini dan Siti Sundari, “Perkembangan Anak dan Remaja” (Jakarta: PT: RINEKA CIPTA, 2004), 31-33.
[6] John W. Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007), 15-16.
[7] Sri Rumini dan Siti Sundari, “Perkembangan Anak dan Remaja” (Jakarta: PT: RINEKA CIPTA, 2004), 48-50.
[8] John W. Santrock, “Perkembangan Anak” (Jakarta: Erlangga, 2007), 17-18.
[9] Ibid, 18-19
[10] Ibid, 20-28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar